Rabu, 27 Mei 2020

Pemuda Saleh, Pemuda yang Bergerak

Pelabuhan Ambon. Sumber : Dokumentasi Pribadi


Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.
(Q.S 18:13)

Pemuda dan Kesalehan
Pemuda merupakan seonggok elemen di dalam lingkungan sosial yang diharapkan  menjadi agen perubahan di suatu bangsa. Ia memiliki suatu karakter khas yakni tekad dan keaktifannya. Masa muda ialah masa untuk eksplorasi, bertualang, mencoba hal baru dan lain sebagainya. Kualitas suatu bangsa dapat dikatakan dinilai dari kualitas pemuda di dalamnya. Keadaan suatu bangsa, dipengaruhi dari ketangguhan para pemudanya. Seperti halnya bangsa Indonesia yang belum merdeka kala itu, para pemuda seperti Soekarno, Tan Malaka, Sutan Syahrir dan yang lainnya melakukan upaya dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka. Hingga kapanpun, pemuda memiliki peran sentral dalam suatu peradaban bangsa.

Kesalehan pemuda, lebih tepatnya, adalah suatu pondasi yang harus dibangun di dalam diri para pemuda. Mengkaji permasalahan suatu bangsa dengan membangun budaya kritis dan literatif. Terutama, ialah pondasi iman di dalam diri pemuda. Bagaimana ia dapat melakukan suatu hal yang tanpa dilandasi iman?

Mengabdi dan menyembah kepada Allah adalah suatu keharusan dan tujuan hakiki, seperti yang termaktub di dalam suatu ayat “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka menyembah-Ku” (Q.S 51:56). Ayat ini menjadi landasan agar manusia, terkhusus pemuda, mengabdi kepada Allah. Dia menyediakan berbagai sarana untuk capaian para hamba mengabdi pada-Nya.

Kita mengabdi dan menyembah kepada Allah dalam salat, puasa, zakat, haji hingga pergaulan dalam masyarakat—gerak langkah hidup kita. Seperti halnya yang senantiasa kita ikrarkan, “Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi Rabbil ‘alamin. Salatku, ibadahku, hidup dan matiku, semata-mata adalah bagi Allah Tuhan semesta alam.” Allah menyediakan sarana ibadah dan taqarrub yang apabila dapat dilakukan secara baik, menjadikan pribadi yang berkualitas—saleh.

Mungkin hingga sampai saat ini, sering kali, para pemuda, terbatasi dengan adanya dikotomi antara ritus dan sosial. Gerak-laku pemuda didalamnya acapkali hanya sekadar hal yang nihil makna. Maksudnya ialah, bacaan-bacaan dan dzikir yang terucap pada bibir kita tidak begitu bermakna di dalam implementasi kehidupan. Seyogianya, dari segi ritualitas: salat dapat tanha ‘anil fakhsya i wal munkar (dapat membentengi orang yang melakukannya dari perbuatan keji dan munkar), ternyata tidak berdampak positif dalam kehidupan mushalli. Pun, sebaliknya, lain pemuda yang memiliki tingkat sosialitas baik, namun tidak menjalankan ibadah ritual.

Betapa pentingnya meningkatkan nilai ritualitas dan sosialitas. Kesalehan ada di dalam dua nilai tersebut. Pribadi pemuda yang melakukan ritus-ritus itu, tidak merepresentasikan suatu perbuatan hamba Allah jikalau tidak melahirkan nilai dari makna ritus sendiri. Agaknya bermula dari ungkapan dikotomis yang tidak menguntungkan kehidupan kaum Muslim, dengan ungkapan adanya kesalehan ritual di satu pihak dan kesalehan sosial di pihak lainnya. Seharusnya, memang, saleh dalam Islam hanya satu—muttaqi.

Pemuda, Bergeraklah!     
Problematika suatu bangsa, semakin terlihat rumit rupanya. Penguasaan media oleh para pemangku jabatan tampak jelas adanya. Hal ini membuat masyarakat terhegemoni dengan mudah atas nilai-nilai semu yang dibangun oleh penguasa. Masyarakat dituntut agar kritis dalam memandang suatu problematika. Pemuda, sebagai aktor dalam bergerak. Demi terwujudnya peradaban yang madani.

Dalam mewujudkan suatu cita-cita yang mulia, yakni peradaban madani, perlu suatu pondasi iman dan menanamkan nilai kebersamaan—tujuan dan moralitas. Seperti hal yang disampaikan oleh Sayyid Quthb bahwa seluruh upaya wajib dicurahkan untuk menciptakan pondasi kokoh, yang tersusun dari orang-orang beriman yang tulus, yang telah diuji oleh ujian dan dia bertahan dalam menghadapinya, serta semua usaha harus dikerahkan untuk mendidik mereka dengan pendidikan keimanan yang mendalam sehingga ia semakin kokoh, kuat, dan mendalam pemahamannya. Pemuda memiliki andil yang sangat besar dalam hal ini. Ia yang memiliki fisik dan tekad kuat adalah kunci dalam mewujudkan peradaban madani.

Dimensi pendidikan—dalam hal ini adalah akhlak dan rasionalitas—adalah ruang yang perlu ditanamkan nilai kesalehan secara utuh, pun sebagai pondasi awal yang dimensinya dikuatkan.  Terlebih, yang saat ini acapkali mudah menyebarkan hoax/ fitnah. Seorang tokoh propagandis, H. Misbach, menggambarkan sikap seorang mukmin yang berada di dalam fitnah hidup yakni; mukmin yang mendidik anak murid [...] didikan kemerdekaan dan hak-haknya kemanusiaan, takut kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan hidup bersama-sama, dan, mukmin harus membedakan dan melawan fitnah serta penyebar fitnah.

Pemuda harus melakukan suatu kolaborasi yang dapat membangkitkan suatu gerakan besar. Tidaklah perlu untuk saling menjatuhkan antar elemen pemuda yang bergerak demi bangsa yang tercinta ini. Maka, kolaborasi antar elemen pemuda adalah kunci dalam mewujudkan peradaban madani. Pemuda yang memiliki kedekatan dengan dimensi pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi hingga teknologi beserta yang lainnya, dikemas dengan nilai-nilai perjuangan. Dilain hal tersebut, mau tidak mau harus memiliki hubungan erat dengan kekuaran Maha Besar. Meminta pertolongan dari-Nya dalam mencapai tujuan bersama. Maka, atas segala ridho-Nya, peradaban madani itu akan terwujud.

 

Referensi

Ath-Thahthawi, A. A. (2009). The Great Leaders: Kisah Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Gema Insani.
Bisri, K. H. (2016). Saleh Ritual Saleh Sosial. Yogyakarta: Diva Press.
Fillah, S. A. (2018). #mncrgknskl. Yogyakarta: Pro-U Media.
Misbach, H. M. (2016). Aksi Propaganda di Surat Kabar Medan Moeslimin dan Islam Bergerak (1915-1926). Temanggung: Octopus.
Quthb, S. (2007). Fikih Pergerakan Sayyid Quthb : Aku Wariskan untuk Kalian! (A. Majid, Trans.) Yogyakarta: Darul Uswah.



Tulisan ini dimuat pada buku yang berjudul : Ijtihad Pemuda Menggagas Peradaban Madani 

Cinta Sang Pujangga kepada Tanah Airnya

Tandon Ciater. Sumber : Dokumentasi Pribadi



Suatu hari, di negeri yang indah nan permai. Hiduplah suatu generasi yang guyub, tiada keegoisan yang menyulut kebersamaan mereka. Saling bahu membahu dalam rangka membangun negeri yang hijau karena hehutanan dan biru karena samuderanya. Sumber daya alamnya begitu melimpah, bertumpah ruah. Hingga di halaman depan dan belakang dapat ditumbuhi dengan mudah tanaman-tanaman untuk dimasak kesehariannya.

Tatkala pagi hari, udara segar terhirup oleh para penduduk desa. Embun-embun menempel pada dedaunan yang terlihat basah. Menari seiring angin mengempas dengan asiknya. Suara binatang di balik semak belukar saling bersahutan menjadi instrumen pagi yang melodis. Terdapat anak-anak yang sedang riang gembira di pinggiran sawah.

Adi dan teman-temannya sedang meniup seruling dan mengdendangkan membalas suara alam. Ia adalah anak sekolah dasar yang memiliki semangat untuk menjadikan desanya makmur dan sejahtera. Ayahnya, seorang petani yang sedang menggemburkan ladang dengan kerbau yang gagah. Menanam bibit padi yang menjadi cikal bakal sumber makanan yang disantap para penduduk di negeri—desa maupun kota—tersebut.

Sore di kota, kendaraan yang melewati jalan raya memunculkan romansa. Tidak saling mendahului, apalagi melebihi batas jalur pelikan dan menjamah trotoar. Senja menjadi penutup kesibukan dan pelipur lara para penduduk kota. Menuju rumah dan suasana yang menghangat walau hanya istana sepetak dua petak.

Makan malam dipandu oleh si Kepala keluarga sebagai teladan kepada putra-putrinya. Sang Ibu mendidik mereka dengan kasih sayang dan menjadikan sosok yang peduli terhadap negerinya. Daya, putranya yang merupakan anak sekolah dasar yang senang bermain dengan siapapun, tanpa mengenal orang kaya dan miskin.

Waktu demi waktu  terus bergulir. Zaman kian berubah beberapa windu kedepan. Membuat sanak saudara menjadi sibuk atas kepentingan perutnya. Terlebih, pemerintah yang semakin bersifat regulator tanpa berinteraksi hangat dengan penduduknya. Justru lebih menyambut kedatangan mereka yang berasal dari luar negerinya dalam rangka ‘membangun’, katanya. Desa-desa menjadi sasaran untuk membangun pabrik hingga penanaman modal asing, faktanya. Kota-kota menjadi pusat transaksi hitam di atas putih. Pendidikan diserahkan kepada mekanisme pasar dan menjadikannya komersil. Bagai barang yang dijual, kalau ingin mendapatkannya harus membeli dengan harga yang mahal.

---

Adi semakin bertumbuh besar. Memasuki dunia pendidikan tinggi, ia bersyukur dapat mengenyam perkuliahan yang tidak semua temannya mendapatkan kesempatan itu. Ia bertemu dengan mahasiswa lainnya yang berasal dari berbagai daerah. Segala kegiatan di -kampus, terkhusus organisasi dan kegiatan sosial ia emban dengan ceria. Dinamika yang ia rasakan dalam hatinya, membuat dirinya membara untuk berkarya dan memberikan yang terbaik untuk desa dan bangsa.

Daya, sudah menjadi keharusan baginya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Ia penuh percaya diri untuk aktif dalam berbagai kegiatan di kampus barunya. Ia bertemu dengan mahasiswa lainnya yang turut aktif dalam kegiatan organisasi. Bermunculan ihwal yang memantik dirinya untuk berbuat kemanfaatan untuk kota dan bangsa.

Suatu ketika dalam suasana sore yang hangat, di lapangan rerumputan yang diiringi nyiur pohon-pohon nan terempas oleh angin, ada sekerumunan mahasiswa yang membuat lingkaran. Mereka sedang mendiskusikan sesuatu dengan asik. Terdengar suara yang menggema dari lingkaran tersebut yang masuk ke dalam gendang telinga Adi. Dari sebelah utara ia melihatnya dan mendekat.

“Sungguh miris negeri ini, biaya pendidikan begitu mahal. Banyak rumah penduduk yang digusur dengan dalih pembangunan oleh pemerintah. Ketika kita menyuarakan, malah dibubarkan bahkan ditangkap sebegitu kasarnya. Kita harus melakukan perubahan!” lantang suara dari lingkaran diskusi.
Daya, sedang berjalan santai sambil menikmati semilir angin sore di kampusnya. Dari arah selatan, ia melihat suatu lingkaran mahasiswa yang membuatnya ingin menuju ke sana. Ia mendengar lontaran suara yang lantang.

“Apakah kita hanya berdiam diri saja? Kalau bapak bangsa kita bilang, jangan tanyakan kepada negeri apa yang telah kita dapatkan, tetapi tanyakanlah kepada diri kita hal apa yang telah kita berikan kepada negeri? Maka dari itu, kita harus bergerak bersama!”

------

Berbagai ancaman menghampiri Adi dan Daya. Keadaan pemerintah semakin otoriter. Beberapa kali mereka merasakan interogasi aparat atas aspirasi yang mereka sampaikan—yang merupakan keresahan seluruh elemen di negeri. Negara semakin tak berimbang. Memihak bukan kepada penduduk asli, melainkan petinggi dunia yang menjamah negeri. Kebijakan semakin tidak prinsipal.

Adi dan Daya, bertemu di suatu forum yang merekatkan semangat perubahan untuk negerinya. Mengajak seluruh elemen yang berbeda untuk menyatukan keresahan bahwa negeri ini butuh seonggok pemuda. Dengan berbagai ikhtiar nurani dan moral, muncul berbagai gerakan akar rumput hingga pendidikan untuk membersamai penduduk untuk melakukan perubahan.

Bukannya menyerah, momentum riskan yang ia dapatkan justru membuat bara api di dalam jiwa semakin berkobar. Dengan kecintaan kepada negerinya, semakin bebatuan membentur diri, mengasah dan menjadi permata harapan untuk bangsa. Jiwa muda semakin menggelora.
Adi dan Daya, menjadi seonggok pemuda yang terus melakukan gerakan sebagai wujud kecintaan terhadap negerinya—serta desa yang merupakan tempat bertumbuh dan kota sebagai transaksi kebajikan.


Negeri kita kaya raya
Semesta tau dengan dan tanpa sengaja
Tinggal bagaimana si pemuda
Ingin mengolah atau nelangsa

Pujangga Bangsa


(tulisan ini dimuat juga pada laman Swara BEM UNJ 2019)