Sosiologi Tarbiyah
Ada 4 faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
beraktivitas atau beragama.
1.
Intelectual involvement ( keterikatan
intelektual ). Rasa ingin tahu yang besar membuat orang tertarik untuk
menghilangkan dahaga intelektual. Nabi Musa a.s mau mengikuti Nabi Khidir a.s
dan bersedia melakukan kontrak belajar karena rasa ingin tahu yang besar. Untuk
mensuplai ilmu dan wawasan. Tarbiyah tidak sekadar mengaji, tetapi ada
aktivitas hati, rasa ingin berbagi dan memiliki empati. Hobi berdiskusi, pandai
berbicara, sering mengikuti kajian, dan senang berargumentasi. Ilmu yang
berlebihan terkadang membuat kita lupa diri dan sombong, seperti, Fir’aun,
Haman dan Qorun. Harus dibangun dengan fahman
syaamilan, pemahaman yang menyeluruh.
2.
Spiritual involvement ( keterikatan
spiritual ). Meningkatkan kualitas rohani pun terkadang membuat kita lupa.
Meninggalkan keluarga, sahabat dan kegiatan belajar. Spiritual hanya lah bagian
apabila tidak di-sinkron-kan dengan syariat Islam. Perlu disadari bahwa
kebahagiaan justru ketika mampu mengajak manusia ke dalam hidayatullah. Keburukan dan kejahatan apabila ada orang-orang
shalih tapi individualistis dan tak berdaya guna. Pada suatu ketika, ada kapal
yang bocor lalu tenggelam ketika semua orang asik dengan diri sendiri dan tidak
peduli. Semua tenggelam, bukan hanya yang membocorkan kapal, orang baik pun
ikut tenggelam karena ketidakpeduliannya.
3.
Emotional involvement ( keterikatan
emosional ). Keuntungan emosional terkadang justru lebih kuat daripada
keuntungan finansial. Tersentuh oleh ukhuwah, tergugah hati oleh empati,
terkesan dengan kedatangan sahabat yang menjenguk kita saat sedang sakit atau
tertimpa musibah, terhibur kala duka, dan menerima senyuman yang membuat kita
semangat. Merasa lekat dan erat dengan simbol, figur, atau atribut
keagamaannya. Merasa islami dengan baju koko, peci, sarung atau warna tertentu.
Yang berbau Arab dianggap islami, apakah harus seperti itu? Dalam aktivitas
tarbiyah, emosi dikelola agar mampu menggerakkan. Saling menasehati, mengingatkan
dengan tidak membuat orang lain sakit hati. Dari sekadar wacana menuju amal
nyata. Turun ke lapangan aksi dari meja diskusi. Memulai diri bukan menuntut
sesuatu.
4.
Organizational involvement (
keterikatan organisasi ). Mau ngaji karena terikat organisasi? Menghadiri
kegiatan agama karena ikatan organisasi. Ini membuat identias organisasi lebih
menonjol daripada identitas keagamaan. Misal, orang belum dianggap nahdliyin tulen apabila sholat subuhnya
tanpa qunut, bismillahnya tidak dijaharkan, sholat tarawih tidak 23 rakaat.
Pun, orang merasa muhammadiyyin bila
subuh tidak pakai qunut, tarawih 11 rakaat, adzan Jum’at cuma sekali. Begitu
juga dengan perbedaan organisasi HMI, PMII, KAMMI dll. Sebenarnya ini sebatas
pemahaman fiqih atau madzhab rujukan. Namun seolah menjadi brand image atau trade mark cara beragama. Akibatnya timbul ashobiyah atau fanatisme organisasi,
bukan terikat pada Islamnya, karena menganggap organisasinya lebih atau paling
islami dan paling mencontoh Nabi. “ Kita
bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati dan toleran dalam perkara yang
ada perbedaan didalamnya.” kaidah Syaikh Muhammad Rasyid Ridho. Disinilah
yang terpenting dalam mengembalikan loyalitas pada Islam, bukan loyalitas pada
organisasi atau kelompok, tetapi pada nilai. Mendahulukan Islam sebelum
organisasinya. Dan tidak perlu menambahkan ‘embel-embel’ dibelakang nama Islam,
membuat Islam seakan-akan ada yang kurang. Islam tetap Islam, Islam adalah
Islam, tidak perlu menambahkan nama dibelakangnya.
Daftar Pustaka
Izzudin, S. A.
(2009). New Quantum Tarbiyah. Yogyakarta: Pro-U Media.