Kabar
Kampusku : Birokrat (sedang) Panik!
Oleh
: Fajar Subhi
Berangkat
dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul “ Refleksi Hari Pendidikan : Apa
Kabar Wahai Kampusku? “, mungkin akan terjawab dengan beberapa hal yang telah
terjadi selama beberapa hari ini. Pun,
selain itu juga, ini merupakan keresahan yang ingin saya sampaikan mengenai
kampus –yang merupakan miniatur peradaban- dan permasalahannya (yang akan
sedikit saya sampaikan). Permasalahan yang meliputi mahasiswa, dosen bahkan
karyawan di kampus ini.
Bertempat
di Apres, Rabu (10/7), tim aksi dari Fakultas Ilmu Sosial (Red Soldier)
mengadakan diskusi terbuka yang mengundang seluruh elemen mahasiswa. Tidak
hanya mahasiswa, dosen dan karyawan pun tidak luput untuk akhirnya diundang
dalam diskusi tersebut. Diskusi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat UNJ
ini menghasilkan sebuah gerakan berupa aliansi[1].
Kabar kampusku, birokrat (sedang) panik! Kenapa kok gitu?
Ketika kami memasang banner untuk mempropagandakan diskusi tersebut, malah
dicabut demi estetika kampus atau alasan
tertentu. Pamflet-pamflet yang kami sebar pun juga ludes dicopot oleh
pihak birokrasi kampus. Kemana letak kebebasan menyampaikan pendapat? Banner
dan pamflet yang kami sebar malah dicopot. Baru mau diskusi loh, belum aksinya,
pak!
Apakah demokrasi di kampus ini sudah musnah? Nampaknya,
doi sedang panik, sibuk mengisi list orang-orang (mahasiswa dan dosen) yang
tengah menulis kritikan untuknya. Bersyukur, pak, ada yang mengingatkan untuk
perbaiki diri. Tetapi, responnya ternyata negatif. Dibuktikan dengan keluarnya
surat pemanggilan kepada Pak Ubedilah (selaku dosen Sosiologi) oleh kepolisian.
Pak Ubedilah diasumsikan terjerat Pasal 27 ayat (3) Jo
Pasal 45 ayat (1) UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau pasal 310 KUHP
dan atau pasal 311 KUHP. Menerangkan bahwa Pak Ubedilah –atas tulisannya yang
dibuat untuk mengkritik- bertindak salah karena pencemaran nama baik,
menurutnya. Jadi teringat pada sistem diberlakukannya NKK/BKK pada Orde Baru.
Ketika seluruh kegiatan diskusi, budaya mengkritik, dan suatu perkumpulan yang
berbau perlawanan mendapat represivitas yang membuat mahasiswa hilang dan
dibuang. Apa bedanya birokrasi kampus ini dengan Orba saat itu?
(Mari hanturkan) Innalillahi,
telah berpulangnya demokrasi di UNJ. Seyogyanya, seorang Pimpinan Universitas itu,
profesional dalam menanggapi kritikan. Menanggapinya secara intern, bukan
ekstern dengan menggunakan aparat kepolisian sebagai tameng “citra” yang
dimilikinya. Dosen juga partner bapak, ya. Pastikan mahasiswa, dosen dan
seluruh elemen masyarakat yang merasakan kebobrokan kampus kita, datang untuk
diskusi (lagi). Bergeraknya aliansi ini atas dasar kepedulian terhadap kampus
tercinta. Maka sampaikan kepada seluruh masyarakat UNJ yang masih peduli dengan
kampus ini, agar merapatkan barisan perjuangan demi mewujudkan kampus
peradaban. Salam Peradaban! Hidup Rakyat
UNJ!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar