Tandon Ciater. Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Suatu hari, di negeri
yang indah nan permai. Hiduplah suatu generasi yang guyub, tiada keegoisan yang
menyulut kebersamaan mereka. Saling bahu membahu dalam rangka membangun negeri
yang hijau karena hehutanan dan biru karena samuderanya. Sumber daya alamnya
begitu melimpah, bertumpah ruah. Hingga di halaman depan dan belakang dapat
ditumbuhi dengan mudah tanaman-tanaman untuk dimasak kesehariannya.
Tatkala pagi hari,
udara segar terhirup oleh para penduduk desa. Embun-embun menempel pada
dedaunan yang terlihat basah. Menari seiring angin mengempas dengan asiknya. Suara
binatang di balik semak belukar saling bersahutan menjadi instrumen pagi yang
melodis. Terdapat anak-anak yang sedang riang gembira di pinggiran sawah.
Adi dan teman-temannya
sedang meniup seruling dan mengdendangkan membalas suara alam. Ia adalah anak
sekolah dasar yang memiliki semangat untuk menjadikan desanya makmur dan
sejahtera. Ayahnya, seorang petani yang sedang menggemburkan ladang dengan kerbau
yang gagah. Menanam bibit padi yang menjadi cikal bakal sumber makanan yang
disantap para penduduk di negeri—desa maupun kota—tersebut.
Sore di kota, kendaraan
yang melewati jalan raya memunculkan romansa. Tidak saling mendahului, apalagi
melebihi batas jalur pelikan dan menjamah trotoar. Senja menjadi penutup
kesibukan dan pelipur lara para penduduk kota. Menuju rumah dan suasana yang
menghangat walau hanya istana sepetak dua petak.
Makan malam dipandu
oleh si Kepala keluarga sebagai teladan kepada putra-putrinya. Sang Ibu mendidik
mereka dengan kasih sayang dan menjadikan sosok yang peduli terhadap negerinya.
Daya, putranya yang merupakan anak sekolah dasar yang senang bermain dengan
siapapun, tanpa mengenal orang kaya dan miskin.
Waktu demi waktu terus bergulir. Zaman kian berubah beberapa
windu kedepan. Membuat sanak saudara menjadi sibuk atas kepentingan perutnya.
Terlebih, pemerintah yang semakin bersifat regulator tanpa berinteraksi hangat
dengan penduduknya. Justru lebih menyambut kedatangan mereka yang berasal dari
luar negerinya dalam rangka ‘membangun’, katanya. Desa-desa menjadi sasaran
untuk membangun pabrik hingga penanaman modal asing, faktanya. Kota-kota
menjadi pusat transaksi hitam di atas putih. Pendidikan diserahkan kepada
mekanisme pasar dan menjadikannya komersil. Bagai barang yang dijual, kalau
ingin mendapatkannya harus membeli dengan harga yang mahal.
---
Adi semakin bertumbuh
besar. Memasuki dunia pendidikan tinggi, ia bersyukur dapat mengenyam
perkuliahan yang tidak semua temannya mendapatkan kesempatan itu. Ia bertemu
dengan mahasiswa lainnya yang berasal dari berbagai daerah. Segala kegiatan di -kampus,
terkhusus organisasi dan kegiatan sosial ia emban dengan ceria. Dinamika yang
ia rasakan dalam hatinya, membuat dirinya membara untuk berkarya dan memberikan
yang terbaik untuk desa dan bangsa.
Daya, sudah menjadi
keharusan baginya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Ia penuh percaya diri
untuk aktif dalam berbagai kegiatan di kampus barunya. Ia bertemu dengan
mahasiswa lainnya yang turut aktif dalam kegiatan organisasi. Bermunculan ihwal
yang memantik dirinya untuk berbuat kemanfaatan untuk kota dan bangsa.
Suatu ketika dalam
suasana sore yang hangat, di lapangan rerumputan yang diiringi nyiur
pohon-pohon nan terempas oleh angin, ada sekerumunan mahasiswa yang membuat
lingkaran. Mereka sedang mendiskusikan sesuatu dengan asik. Terdengar suara
yang menggema dari lingkaran tersebut yang masuk ke dalam gendang telinga Adi.
Dari sebelah utara ia melihatnya dan mendekat.
“Sungguh miris negeri
ini, biaya pendidikan begitu mahal. Banyak rumah penduduk yang digusur dengan
dalih pembangunan oleh pemerintah. Ketika kita menyuarakan, malah dibubarkan
bahkan ditangkap sebegitu kasarnya. Kita harus melakukan perubahan!” lantang
suara dari lingkaran diskusi.
Daya, sedang berjalan
santai sambil menikmati semilir angin sore di kampusnya. Dari arah selatan, ia
melihat suatu lingkaran mahasiswa yang membuatnya ingin menuju ke sana. Ia
mendengar lontaran suara yang lantang.
“Apakah kita hanya
berdiam diri saja? Kalau bapak bangsa kita bilang, jangan tanyakan kepada
negeri apa yang telah kita dapatkan, tetapi tanyakanlah kepada diri kita hal
apa yang telah kita berikan kepada negeri? Maka dari itu, kita harus bergerak
bersama!”
------
Berbagai ancaman
menghampiri Adi dan Daya. Keadaan pemerintah semakin otoriter. Beberapa kali
mereka merasakan interogasi aparat atas aspirasi yang mereka sampaikan—yang
merupakan keresahan seluruh elemen di negeri. Negara semakin tak berimbang. Memihak
bukan kepada penduduk asli, melainkan petinggi dunia yang menjamah negeri.
Kebijakan semakin tidak prinsipal.
Adi dan Daya, bertemu di suatu forum yang merekatkan semangat perubahan untuk negerinya. Mengajak seluruh elemen yang berbeda untuk menyatukan keresahan bahwa negeri ini butuh seonggok pemuda. Dengan berbagai ikhtiar nurani dan moral, muncul berbagai gerakan akar rumput hingga pendidikan untuk membersamai penduduk untuk melakukan perubahan.
Bukannya menyerah,
momentum riskan yang ia dapatkan justru membuat bara api di dalam jiwa semakin
berkobar. Dengan kecintaan kepada negerinya, semakin bebatuan membentur diri,
mengasah dan menjadi permata harapan untuk bangsa. Jiwa muda semakin
menggelora.
Adi dan Daya, menjadi
seonggok pemuda yang terus melakukan gerakan sebagai wujud kecintaan terhadap
negerinya—serta desa yang merupakan tempat bertumbuh dan kota sebagai transaksi
kebajikan.
Negeri kita
kaya raya
Semesta tau
dengan dan tanpa sengaja
Tinggal
bagaimana si pemuda
Ingin mengolah
atau nelangsa
Pujangga
Bangsa
(tulisan ini dimuat juga pada laman Swara BEM UNJ 2019)
(tulisan ini dimuat juga pada laman Swara BEM UNJ 2019)
Best merit casino【WG】WG88 and Win7 - XN
BalasHapusThe best merit casino【WG】wg88 and win7 · Win7.0 win7.0 win7.0 หารายได้เสริม win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 deccasino win7.0 메리트 카지노 고객센터 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0 win7.0