Andai
Student Loan
Oleh : Fajar Subhi
Berakhirnya era penjajahan semenjak 72 tahun
silam diharap dapat menimbulkan harapan kuat untuk majunya negara Indonesia.
Kualifikasi pendidikan ialah suatu inkubator untuk mengolah mentalitas dan
mengangkat status sosial masyarakat Indonesia. Pembebasan dari cengkraman
kolonialisme kala itu memunculkan kesadaran politik dalam membangun pendidikan
yang berkeindonesiaan. Pun, menjadi sebuah keharusan bagi negara dalam
menyejahterakan rakyat melalui prosesi pendidikan yang terjamin hak-haknya.
Sebagaimana termaktub pada Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan.
Berdalih untuk memajukan visi ‘kita’ ke depan yang sangat
basic, yaitu dalam bidang pendidikan, Jokowi menantang bank konvensional dan
meminta Otoritas Jasa Keuangan untuk menggarap pasar kredit pendidikan. Pada
tanggal 15 Maret 2018 Jokowi menyampaikan bahwa jika Indonesia memiliki produk
kredit pendidikan, maka akan dapat mendorong perilaku kredit konsumtif
berpindah ke hal yang bersifat produktif dan memberi nilai tambah kepada
intelektualitas, visi kita kedepan yang sangat basic, yaitu bidang
pendidikan.
"Saya
ingin memberi PR (pekerjaan rumah) kepada Bapak Ibu sekalian, dengan yang
namanya student loan atau kredit pendidikan," kata Jokowi saat pertemuan
dengan pimpinan bank umum di Istana Negara, Jakarta, Kamis (15/3/2018)[1].
Apakah dengan diluncurkannya student loan yang dimaksudkan oleh
Jokowi dapat berdampak baik? Tentu. Dengan hal tersebut, banyak pelajar
yang akan mudah mendapatkan ‘pinjaman’ uang untuk berkuliah. Tetapi, hanya
untuk sementara—disaat menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi. Mereka—yang
mengambil kredit pendidikan—harus melunaskan dikala mereka lulus kuliah.
Secara umum, tak dapat kita pungkiri bahwa kredit tersebut
memiliki bunga—karena menggaet bank konvensional. Hal ini yang akan menambah
beban bagi mereka yang mengambil kredit pendidikan. Di Amerika Serikat,
penelitian dari NerdWallet memprediksi mahasiswa yang lulus kuliah di tahun
2015 harus menunda pensiunnya sampai usia 75 tahun.
Pun, sejumlah 60% peminjam kredit
pendidikan di AS baru bisa melunasi utang di usia 40-an. Itu sekelas
Amerika—yang mungkin dapat kita katakan terjamin lapangan pekerjaannya.
Bukankah negara hadir untuk rakyatnya? Mengorganisasikan
pemerintahan untuk menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Bukan
mahalnya biaya untuk dapat berkuliah, diutangi pula. Padahal, alokasi dana APBN
untuk anggaran pendidikan ialah sekurangnya 20%, ini termaktub dalam Pasal 31 ayat (4)
UUD 1945. Sejumlah 38,73T atau 9,31% dari anggaran pendidikan, itu diperuntukan
kebutuhan pendidikan tinggi[2].
Tampaknya, negara ini tidak lepas dari paradigma neoliberal.
Pada awal tahun 1980an, paradigma kebijakan ekonomi neoliberal mulai digunakan
oleh negara maju dan menyebar ke negara berkembang. Menurut Tilak, dampak dari
kebijakan-kebijakan neoliberal ialah
menguatnya sistem pasar bebas dan membuat peran dari pendidikan tinggi
harus diinterpretasi dan didefinisikan kembali.[3]
Pendidikan dianggap sebagai suatu komoditas. Logika yang
dipakai ialah logika jualbeli. Padahal, pendidikan tidak seperti itu.
Pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat Indonesia. Proses pendidikan harus
mampu menghubungkan kapasitas individual ke dalam kehidupan kolektif sebagai
warga negara demi suatu harmonika di dunia. Ki Hajar Dewantara, menuangkan
suatu semboyan, “mangaju-aji salira, mengaju-aju bangsa, mangaju-aju manungsa” (membahagiakan
diri, membahagiakan bangsa, membahagiakan kemanusiaan).
Jimmy—sebagai pemerhati pendidikan dari UNJ—mengatakan bahwa
dalam UU Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, pemerintah pusat dan
daerah beserta pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak
mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini diatur dalam Pasal 76 ayat
(1).[4]
Sudah seharusnya pemerintah untuk memenuhi hak mereka yang kurang mampu secara
ekonomi. Justru, pada ayat (2) pemenuhan tersebut dengan cara memberikan
beasiswa dan membebaskan biaya pendidikan. Penulis khawatir, jikalau student loan fiks diterapkan dan dibuat
kebijakan oleh pemerintah, redaksi diatas dapat berubah, bahwa mahasiswa yang
kurang mampu secara ekonomi dipersilakan meminjam kredit pendidikan. Mereka
diberi jalan untuk berkuliah dengan cara berutang.
Maka, menjadi sebuah peringatan besar jikalau pendidikan
sudah menjadi cengkraman sistem pasar bebas. Tidak memiliki integritas dalam
menentukan pendidikan yang berbasis kemudahan untuk masyarakat. Perlu dicamkan,
bahwa pendidikan bukanlah barang dagang.
“Tujuan pendidikan itu untuk
mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan” ― Tan Malaka.
Daftar Pustaka
Naufal Mamduh
“Kredit Pendidikan ala Jokowi : Masalah atau Solusi?” diakses dari
https://tirto.id/kredit-pendidikan-ala-jokowi-masalah-atau-solusi-cGoC pada tanggal 5 April 2018 pukul 06.42 WIB
Putra, Galih. 2016. Politik
Pendidikan : Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia dan India. Jakarta
: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sakina Rakhma “
Jokowi Minta Perbankan Sediakan ‘Student Loan’ ini komentar BI diakses dari https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/16/203800026/jokowi-minta-perbankan-sediakanstudent-loan-ini-komentar-bi. diakses pada tanggal 5 April 2018 pukul 01.30 WIB
Staf Presiden RI.
2017. Kajian Anggaran Pendidikan diakses di anggaran.depkeu.go.id
Tim PGRI. 2014. Pendidikan untuk Transformasi Bangsa : Arah Baru Pendidikan untuk
Perubahan Mental Bangsa. Jakarta : Kompas.
[3] Putra, Galih. 2016. Politik Pendidikan : Liberalisasi Pendidikan
Tinggi di Indonesia dan India. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar