Minggu, 07 Oktober 2018

Andai Student Loan

Andai Student Loan
Oleh : Fajar Subhi

 Berakhirnya era penjajahan semenjak 72 tahun silam diharap dapat menimbulkan harapan kuat untuk majunya negara Indonesia. Kualifikasi pendidikan ialah suatu inkubator untuk mengolah mentalitas dan mengangkat status sosial masyarakat Indonesia. Pembebasan dari cengkraman kolonialisme kala itu memunculkan kesadaran politik dalam membangun pendidikan yang berkeindonesiaan. Pun, menjadi sebuah keharusan bagi negara dalam menyejahterakan rakyat melalui prosesi pendidikan yang terjamin hak-haknya. Sebagaimana termaktub pada Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. 
Berdalih untuk memajukan visi ‘kita’ ke depan yang sangat basic, yaitu dalam bidang pendidikan, Jokowi menantang bank konvensional dan meminta Otoritas Jasa Keuangan untuk menggarap pasar kredit pendidikan. Pada tanggal 15 Maret 2018 Jokowi menyampaikan bahwa jika Indonesia memiliki produk kredit pendidikan, maka akan dapat mendorong perilaku kredit konsumtif berpindah ke hal yang bersifat produktif dan memberi nilai tambah kepada intelektualitas, visi kita kedepan yang sangat basic, yaitu bidang pendidikan. 
"Saya ingin memberi PR (pekerjaan rumah) kepada Bapak Ibu sekalian, dengan yang namanya student loan atau kredit pendidikan," kata Jokowi saat pertemuan dengan pimpinan bank umum di Istana Negara, Jakarta, Kamis (15/3/2018)[1]. 
Apakah dengan diluncurkannya student loan yang dimaksudkan oleh Jokowi dapat berdampak baik? Tentu. Dengan hal tersebut, banyak pelajar yang akan mudah mendapatkan ‘pinjaman’ uang untuk berkuliah. Tetapi, hanya untuk sementara—disaat menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi. Mereka—yang mengambil kredit pendidikan—harus melunaskan dikala mereka lulus kuliah. 
Secara umum, tak dapat kita pungkiri bahwa kredit tersebut memiliki bunga—karena menggaet bank konvensional. Hal ini yang akan menambah beban bagi mereka yang mengambil kredit pendidikan. Di Amerika Serikat, penelitian dari NerdWallet memprediksi mahasiswa yang lulus kuliah di tahun 2015 harus menunda pensiunnya sampai usia 75 tahun.
Pun, sejumlah 60% peminjam kredit pendidikan di AS baru bisa melunasi utang di usia 40-an. Itu sekelas Amerika—yang mungkin dapat kita katakan terjamin lapangan pekerjaannya.
Bukankah negara hadir untuk rakyatnya? Mengorganisasikan pemerintahan untuk menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Bukan mahalnya biaya untuk dapat berkuliah, diutangi pula. Padahal, alokasi dana APBN untuk anggaran pendidikan ialah sekurangnya 20%, ini termaktub dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Sejumlah 38,73T atau 9,31% dari anggaran pendidikan, itu diperuntukan kebutuhan pendidikan tinggi[2]. 
Tampaknya, negara ini tidak lepas dari paradigma neoliberal. Pada awal tahun 1980an, paradigma kebijakan ekonomi neoliberal mulai digunakan oleh negara maju dan menyebar ke negara berkembang. Menurut Tilak, dampak dari kebijakan-kebijakan neoliberal ialah  menguatnya sistem pasar bebas dan membuat peran dari pendidikan tinggi harus diinterpretasi dan didefinisikan kembali.[3] 
Pendidikan dianggap sebagai suatu komoditas. Logika yang dipakai ialah logika jualbeli. Padahal, pendidikan tidak seperti itu. Pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat Indonesia. Proses pendidikan harus mampu menghubungkan kapasitas individual ke dalam kehidupan kolektif sebagai warga negara demi suatu harmonika di dunia. Ki Hajar Dewantara, menuangkan suatu semboyan, “mangaju-aji salira, mengaju-aju bangsa, mangaju-aju manungsa” (membahagiakan diri, membahagiakan bangsa, membahagiakan kemanusiaan). 
Jimmy—sebagai pemerhati pendidikan dari UNJ—mengatakan bahwa dalam UU Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, pemerintah pusat dan daerah beserta pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini diatur dalam Pasal 76 ayat (1).[4] Sudah seharusnya pemerintah untuk memenuhi hak mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Justru, pada ayat (2) pemenuhan tersebut dengan cara memberikan beasiswa dan membebaskan biaya pendidikan. Penulis khawatir, jikalau student loan fiks diterapkan dan dibuat kebijakan oleh pemerintah, redaksi diatas dapat berubah, bahwa mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi dipersilakan meminjam kredit pendidikan. Mereka diberi jalan untuk berkuliah dengan cara berutang.
Maka, menjadi sebuah peringatan besar jikalau pendidikan sudah menjadi cengkraman sistem pasar bebas. Tidak memiliki integritas dalam menentukan pendidikan yang berbasis kemudahan untuk masyarakat. Perlu dicamkan, bahwa pendidikan bukanlah barang dagang. 
“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan” Tan Malaka.  
  

Daftar Pustaka
Naufal Mamduh “Kredit Pendidikan ala Jokowi : Masalah atau Solusi?” diakses dari
Putra, Galih. 2016. Politik Pendidikan : Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia dan India. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sakina Rakhma “ Jokowi Minta Perbankan Sediakan ‘Student Loan’ ini komentar BI diakses dari https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/16/203800026/jokowi-minta-perbankan-sediakanstudent-loan-ini-komentar-bi. diakses pada tanggal 5 April 2018 pukul 01.30 WIB   
Staf Presiden RI. 2017. Kajian Anggaran Pendidikan diakses di anggaran.depkeu.go.id  
Tim PGRI. 2014. Pendidikan untuk Transformasi Bangsa : Arah Baru Pendidikan untuk Perubahan Mental Bangsa. Jakarta : Kompas.


[1] Sakina Rakhma “ Jokowi Minta Perbankan Sediakan ‘Student Loan’ ini komentar BI diakses dari https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/16/203800026/jokowi-minta-perbankan-sediakan-student-loanini-komentar-bi. diakses pada tanggal 5 April 2018 pukul 01.30 WIB   
[2] Departemen Keuangan, 2017 
[3] Putra, Galih. 2016. Politik Pendidikan : Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia dan India. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
[4] Naufal Mamduh “Kredit Pendidikan ala Jokowi : Masalah atau Solusi?” diakses dari https://tirto.id/kreditpendidikan-ala-jokowi-masalah-atau-solusi-cGoC pada tanggal 5 April 2018 pukul 06.42 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar