Pelabuhan Ambon. Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Kami
kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka
adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami
tambah pula untuk mereka petunjuk.
(Q.S 18:13)
Pemuda dan
Kesalehan
Pemuda merupakan seonggok elemen di
dalam lingkungan sosial yang diharapkan
menjadi agen perubahan di suatu bangsa. Ia memiliki suatu karakter khas
yakni tekad dan keaktifannya. Masa muda ialah masa untuk eksplorasi, bertualang,
mencoba hal baru dan lain sebagainya. Kualitas suatu bangsa dapat dikatakan
dinilai dari kualitas pemuda di dalamnya. Keadaan suatu bangsa, dipengaruhi
dari ketangguhan para pemudanya. Seperti halnya bangsa Indonesia yang belum
merdeka kala itu, para pemuda seperti Soekarno, Tan Malaka, Sutan Syahrir dan
yang lainnya melakukan upaya dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka. Hingga
kapanpun, pemuda memiliki peran sentral dalam suatu peradaban bangsa.
Kesalehan pemuda, lebih tepatnya, adalah
suatu pondasi yang harus dibangun di dalam diri para pemuda. Mengkaji
permasalahan suatu bangsa dengan membangun budaya kritis dan literatif.
Terutama, ialah pondasi iman di dalam diri pemuda. Bagaimana ia dapat melakukan
suatu hal yang tanpa dilandasi iman?
Mengabdi dan menyembah kepada Allah
adalah suatu keharusan dan tujuan hakiki, seperti yang termaktub di dalam suatu
ayat “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia, melainkan agar mereka menyembah-Ku” (Q.S 51:56). Ayat ini menjadi
landasan agar manusia, terkhusus pemuda, mengabdi kepada Allah. Dia menyediakan
berbagai sarana untuk capaian para hamba mengabdi pada-Nya.
Kita mengabdi dan menyembah kepada Allah
dalam salat, puasa, zakat, haji hingga pergaulan dalam masyarakat—gerak langkah
hidup kita. Seperti halnya yang senantiasa kita ikrarkan, “Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi Rabbil ‘alamin. Salatku,
ibadahku, hidup dan matiku, semata-mata adalah bagi Allah Tuhan semesta alam.” Allah
menyediakan sarana ibadah dan taqarrub yang
apabila dapat dilakukan secara baik, menjadikan pribadi yang berkualitas—saleh.
Mungkin
hingga sampai saat ini, sering kali, para pemuda, terbatasi dengan adanya
dikotomi antara ritus dan sosial. Gerak-laku pemuda didalamnya acapkali hanya
sekadar hal yang nihil makna. Maksudnya ialah, bacaan-bacaan dan dzikir yang
terucap pada bibir kita tidak begitu bermakna di dalam implementasi kehidupan.
Seyogianya, dari segi ritualitas: salat dapat tanha ‘anil fakhsya i wal munkar (dapat membentengi orang yang
melakukannya dari perbuatan keji dan munkar), ternyata tidak berdampak positif
dalam kehidupan mushalli. Pun,
sebaliknya, lain pemuda yang memiliki tingkat sosialitas baik, namun tidak
menjalankan ibadah ritual.
Betapa pentingnya meningkatkan nilai
ritualitas dan sosialitas. Kesalehan ada di dalam dua nilai tersebut. Pribadi
pemuda yang melakukan ritus-ritus itu, tidak merepresentasikan suatu perbuatan
hamba Allah jikalau tidak melahirkan nilai dari makna ritus sendiri. Agaknya
bermula dari ungkapan dikotomis yang tidak menguntungkan kehidupan kaum Muslim,
dengan ungkapan adanya kesalehan ritual di satu pihak dan kesalehan sosial di
pihak lainnya. Seharusnya, memang, saleh dalam Islam hanya satu—muttaqi.
Pemuda,
Bergeraklah!
Problematika suatu bangsa, semakin
terlihat rumit rupanya. Penguasaan media oleh para pemangku jabatan tampak
jelas adanya. Hal ini membuat masyarakat terhegemoni dengan mudah atas nilai-nilai
semu yang dibangun oleh penguasa. Masyarakat dituntut agar kritis dalam
memandang suatu problematika. Pemuda, sebagai aktor dalam bergerak. Demi
terwujudnya peradaban yang madani.
Dalam mewujudkan suatu cita-cita yang
mulia, yakni peradaban madani, perlu suatu pondasi iman dan menanamkan nilai
kebersamaan—tujuan dan moralitas. Seperti hal yang disampaikan oleh Sayyid
Quthb bahwa seluruh upaya wajib dicurahkan untuk menciptakan pondasi kokoh,
yang tersusun dari orang-orang beriman yang tulus, yang telah diuji oleh ujian
dan dia bertahan dalam menghadapinya, serta semua usaha harus dikerahkan untuk
mendidik mereka dengan pendidikan keimanan yang mendalam sehingga ia semakin
kokoh, kuat, dan mendalam pemahamannya. Pemuda memiliki andil yang sangat besar
dalam hal ini. Ia yang memiliki fisik dan tekad kuat adalah kunci dalam
mewujudkan peradaban madani.
Dimensi pendidikan—dalam hal ini adalah
akhlak dan rasionalitas—adalah ruang yang perlu ditanamkan nilai kesalehan
secara utuh, pun sebagai pondasi awal yang dimensinya dikuatkan. Terlebih, yang saat ini acapkali mudah
menyebarkan hoax/ fitnah. Seorang
tokoh propagandis, H. Misbach, menggambarkan sikap seorang mukmin yang berada
di dalam fitnah hidup yakni; mukmin yang mendidik anak murid [...] didikan
kemerdekaan dan hak-haknya kemanusiaan, takut kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan
hidup bersama-sama, dan, mukmin harus membedakan dan melawan fitnah serta
penyebar fitnah.
Pemuda harus melakukan suatu kolaborasi
yang dapat membangkitkan suatu gerakan besar. Tidaklah perlu untuk saling
menjatuhkan antar elemen pemuda yang bergerak demi bangsa yang tercinta ini.
Maka, kolaborasi antar elemen pemuda adalah kunci dalam mewujudkan peradaban
madani. Pemuda yang memiliki kedekatan dengan dimensi pendidikan, sosial-budaya,
politik, ekonomi hingga teknologi beserta yang lainnya, dikemas dengan nilai-nilai
perjuangan. Dilain hal tersebut, mau tidak mau harus memiliki hubungan erat dengan
kekuaran Maha Besar. Meminta pertolongan dari-Nya dalam mencapai tujuan
bersama. Maka, atas segala ridho-Nya, peradaban madani itu akan terwujud.
Referensi
Ath-Thahthawi, A. A. (2009). The
Great Leaders: Kisah Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Gema Insani.
Bisri, K. H. (2016). Saleh Ritual
Saleh Sosial. Yogyakarta: Diva Press.
Fillah, S. A. (2018). #mncrgknskl.
Yogyakarta: Pro-U Media.
Misbach, H. M. (2016). Aksi
Propaganda di Surat Kabar Medan Moeslimin dan Islam Bergerak (1915-1926).
Temanggung: Octopus.
Quthb, S. (2007). Fikih Pergerakan
Sayyid Quthb : Aku Wariskan untuk Kalian! (A. Majid, Trans.) Yogyakarta:
Darul Uswah.
Tulisan ini dimuat pada buku yang berjudul : Ijtihad Pemuda Menggagas Peradaban Madani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar