Rabu, 31 Mei 2017

Urgensi Solidaritas dalam Gerakan (Mahasiswa)

Urgensi Solidaritas dalam Gerakan (Mahasiswa)

          Mengapa dapat dikatakan pentingnya kebersatuan (solidaritas) dalam gerakan? Penulis yakin bahwa dalam pergerakan dibutuhkan solidasi dalam melakukan aksinya. Dalam bergerak, dibutuhkan adanya ”massa”. Karena hal ini yang akan membuat militansinya suatu pergerakan (mahasiswa).
          Dalam masa-masa akhir (awal abad ke-20) kolonialisme, terbentuklah beberapa organisasi yang merupakan kumpulan yang membentuk massa. Tahun 1905 (dibulan Oktober) berdirilah Sarekat Dagang Islam. Dengan ketuanya yaitu Samanhoedi. Disusul dengan berdirinya BO pada 1908. Kemudian National Indische Partij pada 1912. Namun masil belum bisa mencium aroma kebangsaan Indonesia. BO dan NIP ialah sebuah kumpulan (partai) yang tidak memiliki cita-cita menyingkirkan imperialisme dan cita-cita nasional.
          Keadaan selanjutnya, dalam perjuangannya yang luar biasa beratnya selama beberapa tahun lalu, berhasillah PKI dan SR menghimpun kaum buruh dan revolusioner dari SI (SDI), BO dan NIP untuk bernaung dibawah panji-panjinya. Dalam beberapa aksi daerah untuk tujuan yang kecil-kecil, PKI dan SR sudah menunjukkan kekuatan dan kecakapannya. Tetapi belum kuasa, dimanakah rakyat berjuta-juta di Jawa, Sumatra, Sulawesi? Karena memang belum adanya keterikatan pergerakan yang ber-komando satu.
          Untuk kepentingan pergerakan, sangat banyak yang harus dirahasiakan. Karena suatu hari akan kita ceritakan kepada rekan-rekan seperjuangan dan kepada mereka yang menyetujui kita, bukan putch melainkan solidaritas perjuangan (pergerakan massa).
          Pun, dalam melakukan sebuah pergerakan, semangat saja tidak cukup. Banyak yang memakai istilah kemajuan hidup suatu bangsa dengan istilah semangat. Namun juga, dibutuhkan adanya suatu proses saling merekatkan dalam suatu wadah gerakan.
          Saat ini, kita tengah mengisi kemerdekaan. Menikmati hasil perjuangan para pendahulu kemerdekaan kita yang begitu susah payah memerdekakan negeri ini. Lambat laun, dalam suatu kepemimpinan suatu orde (masa) memiliki egositik. Sebagai contoh orde baru. Sulitnya berkumpul dan menyampaikan pendapat. Membuat kita (mahasiswa) meluapkan kekesalan atas pembungkaman orde baru. Hingga akhirnya, saling memiliki keterikatan dalam suatu pergerakan yang diharapkan. Dengan mula-mula berkumpul dalam suatu forum, tidak sedikit yang menjadi korban atas momentum ini. Singkatnya, terjadilah suatu masa yaitu Reformasi. Terjadi, karena memiliki soliditas yang mumpuni dalam menggerakan sebuah perubahan oleh massa (yang solid).
          Namun, kita kecolongan dalam reformasi ini. Lihat saja apa yang tengah terjadi saat ini. Bentuk reformasi yang kita idam-idamkan diambil alih oleh oknum demokrasi liberal. Yaitu secara seenaknya, semena-menanya, dan sebebas-bebasnya membuat kebijakan yang sporadis. Kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan keadaan masyarakatnya. Hanya menguntungkan beberapa oknum pembuat kebijakan tersebut.
          Berkali-kali mahasiswa melakukan pergerakan. Mencoba mendobrak pemerintahan saat ini yang meRAJAlela. Ya, bagaikan sang Raja dalam suatu demokrasi ini. Namun, bagaimana impact terhadap hasil gerakan mahasiswa? Belantaranya suatu negeri ini.. bagaikan bos yang menyuruh karyawan dan kawan-kawanannya, dan mereka saja yang mendapat nilainya. Bagaimana keadaan rakyat? Dibuat bodoh, bangga atas kebijakan pemerintah yang sporadis, licik sekali pemerintah (keji) ini.
          Akankah kita dalam pergerakan mahasiswa masa Reformasi akan kebal terhadap stigma orang-orang yang terlalu kritis, menyenggol mahasiswa (BEM) betapa ‘lucunya’ melakukan Reformasi (lagi). Mahasiswa berlogika sederhana, ketika ada kelaliman dalam kepemerintahan terhadap rakyatnya, maka LAWAN.
          Solidasi lagi wahai Mahasiswa dalam gerakan ini. Namun, jangan sampai kecolongan lagi saat jilid 2 (nanti, hingga takdir Tuhan yang menentukan). Tetap pada koridor gerakan yang berlandaskan iman. Karena dengan itu, solidasi akan terasa satu sama lain. Maka kita akan menjadi gerakan massa. Bahkan tidak sekadar aktif dan reformatif, tetapi solutif dalam membela rakyat Indonesia. Kau mahasiswa? Saling membangun dan solidasi untuk Indonesia.

-Fajar Subhi-

References


Malaka, Tan. Aksi Massa. Edited by Yogaswara. Jakarta: Narasi, 2016.
Multitama. Keep Fight. Jakarta: Qisthi Press, 2010.
Zain, Umar Nur. Belantara Ibu Kota. Jakarta: Sinar Harapan, 2000.



Puisi Aleppo

     Anak dari Aleppo

Terdengar dentuman gerombolan bom
Datang ke rumah yang aku dambakan
Yang kini telah membara akan api
Yang dikirim oleh rezim yang laknat

Yaa Allah.. Aku sendirian..
Orangtuaku sedang menghadapmu
Saudaraku akan syahid..
Aku hanya merengkuh di sudut kegelapan
Aku takut..aku akan di bunuh
Aku hanya bisa meringkuk

Kamu yang berada di rumah
Di negeri yang aman dan tenteram
Kamu yang sedang memegang gadget
Yang makan dengan orang tersayang
Di bawah langit yang sejuk dan udara segar

Kami sedang mengepal tangan
Untuk melawan kezaliman mereka
Makan di bawah langit asap
Bahkan enggan..karena melihat lumuran merah

Tapi kami yakin atas pertolongan-Nya
Akan turun bala tentara Allah
Dan kami tak butuh materi dari mu
Yang kami butuh adalah doa tulus dari hati mu


-FS-

Selasa, 30 Mei 2017

Sosiologi Hukum (Pertemuan pada tanggal 3 Mei 2017)
            Pada hari ini (Rabu 3/5) puji syukur kepada Allah karena masih memberikan beribu nikmat kepada kita semua sehingga dapat menjalankan aktivitas seperti biasanya. Bertempat di Gedung Dewi Sartika lantai 9 kami menjalankan perkuliahan Sosiologi Hukum. Hari ini pembahasannya ialah mengenai Struktur Sosial dan Hukum.
Berikut merupakan bagan (simpel) mengenai struktur sosial dan Hukum (sebagai kekuasaan).



             

Sosiologi Hukum (Pertemuan pada tanggal 29 Maret 2017)

Sosiologi Hukum  (Pertemuan pada tanggal 29 Maret 2017)

            Hari ini bertempat di Gedung Dewi Sartika lantai 9 kami masih bisa melaksanakan perkuliahan dengan mata kuliah Sosiologi Hukum. Dengan suasana yang hangat diluar sana dan semoga hangat pula perkuliahan kami. Hari ini membahas mengenai Aliran Pemikiran Sosiologi Hukum.


            Ada empat (4) macam aliran pemikiran Sosiologi Hukum :
a.       Mazhab Formalistis
b.      Mazhab Sejarah dan Kebudayaan
c.       Mazhab Utilitarianisme
d.      Sociological Jurisprudence
e.       Mazhab Realisme Hukum



Dosen kami (Pak Rahman) menerangkan bahwa Mazhab Formalistis digunakan oleh kaum (masyarakat) Positivis. Ada dua tokoh dalam mazhab ini yaitu John Austin (Analytical Jurisprudence) dan Hans Kelsen (Hukum Murni). Dalam mazhab ini dikatakan bahwa hukum dan moral adalah bidang yang terpisah. Hukum itu berdasarkan dari kekuasaan. Ada hukum dari Tuhan dan Manusia. Hukum manusia ada yang sebenarnya (hak individu) dan tidak sebenarnya (peraturan oleh badan tertentu).  

Kendeng Lestari, Hentikan Pabrik Semen!

Kendeng Lestari, Hentikan Pabrik Semen!

            Salam Kendeng, Lestari! Sudah memasuki hari ke-8 para petani Kendeng mengecor kakinya. Hal yang diluar logika bukan? Betul, karena, jalur audiensi telah mereka tempuh hingga ke jalur hukum yang telah mereka jalani.  Sudah mereka lakukan, dalam upaya melindungi Pegunungan Kendeng atas didirikannya pabrik semen di lokasi tersebut. Hingga akhirnya, menurut mereka, inilah jalan terakhir karena pemerintah (Gubernur Jateng maupun Presiden) tak kunjung merespon hak mereka.

            Sebelumnya, sekitar bulan November 2016, para petani Kendeng telah menggugat ke PTUN Semarang. Singkatnya, gugatan dimenangkan oleh para petani. Ganjar, mencabut izin pabrik semen tersebut. Tetapi yang mengundang kecaman, Ganjar membuat dan (semacam) memodifikasi izin tersebut agar disempurnakan dalam (kegiatan) pabrik semen tersebut sebulan kemudian.

Kendeng tetap menjadi Kawasan Bentang Alam Karst yang terlindungi oleh Perpres No 28 tahun 2012 tentang Tata Ruang Jawa, Bali, Pati, Rembang, Grobogan, Blora sebagai Kawasan Lindung Biologi (Kawasan Karst). Ganjar telah mengingkari amanah dan jabatannya. Bagaimana tidak, ketika seorang gubernur dilantik oleh Mendagri, ia bersumpah untuk melaksanakan amanahnya dan mematuhi UU yang berlaku di Indonesia.

            Pun, berbagai masalah sosial, politik hingga bencana alam terjadi seiring dengan pemaksaan pembangunan sektor industri (pabrik) di Jawa yang berkedok demi memajukan bangsa. Bohong. Seiring berdirinya pabrik (khususnya) di Jawa, ditempat yang merupakan kawasan lindung akan memperparah keadaan alam. Pabrik (semen) akan menimbulkan polusi yang amat pekat.  Lingkungan menjadi rusak. Pendirian pabrik semen tersebut juga tidak memenuhi amdal dan melanggar PP No 43 tahun 2008 tentang air tanah, mengatur perencanaan pengelolaan, inventarisasi dan zona konservasi. Air tanah akan perlahan menyusut dan memburuk, zona pabrik tersebut juga tidak dapat dimasuki (mengeksklusifkan diri), dan tata pengelolaan yang buruk.

            Jokowi (yang masih kami anggap Presiden), jangan terlalu sibuk nge-vlog hingga lupa dengan rakyatnya. Hari ini, mereka ingin sekali (lagi) menemui engkau. Harapan bagi mereka adalah Presiden. Tegakkan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 tentang Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran RAKYAT.

Salam Kendeng, Lestari!

#SaveKendeng
#KendengLestari
#SavePetani


Fajar Subhi, 20 Maret 2017

Kabar Kampusku : Birokrat (sedang) Panik!

Kabar Kampusku : Birokrat (sedang) Panik!
Oleh : Fajar Subhi

Berangkat dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul “ Refleksi Hari Pendidikan : Apa Kabar Wahai Kampusku? “, mungkin akan terjawab dengan beberapa hal yang telah terjadi selama beberapa hari ini.  Pun, selain itu juga, ini merupakan keresahan yang ingin saya sampaikan mengenai kampus –yang merupakan miniatur peradaban- dan permasalahannya (yang akan sedikit saya sampaikan). Permasalahan yang meliputi mahasiswa, dosen bahkan karyawan di kampus ini.
Bertempat di Apres, Rabu (10/7), tim aksi dari Fakultas Ilmu Sosial (Red Soldier) mengadakan diskusi terbuka yang mengundang seluruh elemen mahasiswa. Tidak hanya mahasiswa, dosen dan karyawan pun tidak luput untuk akhirnya diundang dalam diskusi tersebut. Diskusi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat UNJ ini menghasilkan sebuah gerakan berupa aliansi[1].
            Kabar kampusku, birokrat (sedang) panik! Kenapa kok gitu? Ketika kami memasang banner untuk mempropagandakan diskusi tersebut, malah dicabut demi estetika kampus atau alasan  tertentu. Pamflet-pamflet yang kami sebar pun juga ludes dicopot oleh pihak birokrasi kampus. Kemana letak kebebasan menyampaikan pendapat? Banner dan pamflet yang kami sebar malah dicopot. Baru mau diskusi loh, belum aksinya, pak!
            Apakah demokrasi di kampus ini sudah musnah? Nampaknya, doi sedang panik, sibuk mengisi list orang-orang (mahasiswa dan dosen) yang tengah menulis kritikan untuknya. Bersyukur, pak, ada yang mengingatkan untuk perbaiki diri. Tetapi, responnya ternyata negatif. Dibuktikan dengan keluarnya surat pemanggilan kepada Pak Ubedilah (selaku dosen Sosiologi) oleh kepolisian.
            Pak Ubedilah diasumsikan terjerat Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1) UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau pasal 310 KUHP dan atau pasal 311 KUHP. Menerangkan bahwa Pak Ubedilah –atas tulisannya yang dibuat untuk mengkritik- bertindak salah karena pencemaran nama baik, menurutnya. Jadi teringat pada sistem diberlakukannya NKK/BKK pada Orde Baru. Ketika seluruh kegiatan diskusi, budaya mengkritik, dan suatu perkumpulan yang berbau perlawanan mendapat represivitas yang membuat mahasiswa hilang dan dibuang. Apa bedanya birokrasi kampus ini dengan Orba saat itu?
             (Mari hanturkan) Innalillahi, telah berpulangnya demokrasi di UNJ. Seyogyanya, seorang Pimpinan Universitas itu, profesional dalam menanggapi kritikan. Menanggapinya secara intern, bukan ekstern dengan menggunakan aparat kepolisian sebagai tameng “citra” yang dimilikinya. Dosen juga partner bapak, ya. Pastikan mahasiswa, dosen dan seluruh elemen masyarakat yang merasakan kebobrokan kampus kita, datang untuk diskusi (lagi). Bergeraknya aliansi ini atas dasar kepedulian terhadap kampus tercinta. Maka sampaikan kepada seluruh masyarakat UNJ yang masih peduli dengan kampus ini, agar merapatkan barisan perjuangan demi mewujudkan kampus peradaban. Salam Peradaban!  Hidup Rakyat UNJ!



[1] http://unjkita.com/press-release-apa-kabar-wahai-kampusku/

Refleksi Hari Pendidikan : Apa Kabar Wahai Kampusku?

Refleksi Hari Pendidikan : Apa Kabar Wahai Kampusku?
Oleh : Fajar Subhi (Mahasiswa FIS UNJ)

            Masih terngiang di pikiran kita semua mengenai Hari Pendidikan. Bersorak sorai masing-masing elemen masyarakat dalam memperingati Hari Pendidikan. Ada yang memperingatinya dengan cara pawai pendidikan, festival bertajuk pendidikan, aksi turun ke jalan hingga refleksi malam. Tiada yang salah selagi dalam memperingati pendidikan dengan terdidik.
Kampusku, yang dikatakan sebagai kampus pendidikan dengan lulusan (pada umumnya) sebagai tenaga pengajar. Apa kabar wahai kampusku? Wisma yang dirubuhkan dan akan dibangun hotel, untuk apa?  Hingga banyak komersial yang masuk ke dalam kampus (pendidikan) dan mengadakan acara ‘hedon’, dalam artian jauh dari kultur pendidikan. Kemana habitus intelektual dalam suatu miniatur peradaban?
Dalam struktur sosial, ada kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan itu penting dalam suatu birokrasi. Kekuasaan itu bagaimana kemampuan (penguasa) dalam mempengaruhi (yang dikuasainya). Hal tersebut didapatkan dari kedudukan dan kepercayaan (Haryanto, 2005). Baiklah, dari segi kedudukan seorang pimpinan universitas memang sah secara legalitas. Apakah dari segi kepercayaan telah didapatkan olehnya? Kekuasaan yang bersumber dari kepercayaan hanya muncul di masyarakat di mana anggota-anggotanya mempunyai kepercayaan yang dimiliki pemegang kekuasaan. Artinya, bisa dikatakan bahwa kebanyakan masyarakat UNJ yang belum mempercayakan pada pimpinannya. Kenapa? Atas perilaku yang diperbuat.
Saya dengar ada beberapa (bahkan banyak) dosen yang mengkritik seorang pimpinannya malah di tangkis secara unprofesional. Ada ungkapan bahwa mereka (dosen yang mengkritik) dipanggil polisi. Saat 2 Mei kemarin, ketika perwakilan massa aksi ingin melakukan agitasi mengelilingi UNJ dengan menggunakan mobil sound, malah dijegal. Alih-alih mengganggu keamanan kampus, padahal apa yang kami lakukan dijamin sesuai amanat UU No.9 tahun 1998 tentang kebebasan berpendapat. Masih teringat pada awal tahun 2016 atas keluarnya SK pengeluaran Ronny Setiawan karena sikap kritis terhadap Rektor. Membuktikan bahwa sikap yang anti kritik dan anti demokrasi ini terjadi disuatu ruang demokrasi (kampus). Seharusnya, pemimpin itu besar dengan kritik.
Dimana letak habitus intelektual suatu kampus pendidikan? Seyogyanya suatu kampus pendidikan di isi dengan kultur pendidikan, hidupnya budaya diskusi dan literasi, lengkapnya suatu literatur perpustakaan, hingga birokrasi yang berpihak terhadap mahasiswa. Karena menurut Peter Blau, suatu birokrasi ialah suatu tipe organisasi untuk menyelesaikan tugas administratif. Artinya birokrasi ini menjadi daya pendukung dalam kegiatan kemahasiswaan. Bagaimana realitanya? Teman-teman yang bisa menjawabnya.

Bagaimana kemajuan kampusku? Permasalahan diatas hanyalah segelintir. Masih banyak yang belum tercantumkan. Akankah hati mahasiswa sudah tumpul? Kemana langkah pergerakan mahasiswa dalam memperbaiki rumahnya yang concern di bidang pendidikan? Akankah terciptanya suatu perubahan besar? Apabila mekanisme, kebijakan, dan sikap birokrasi kampus tidak adanya perubahan bahkan semakin memburuk, akankah diam saja? Periksa kembali hati kita. Lakukan apa yang harus dilakukan oleh Mahasiswa.

Resume Buku : Aksi Massa (Tan Malaka)

Aksi Massa (dalam Konteks Keindonesiaan)
Oleh : Fajar Subhi

            Revolusi merupakan penciptaan dari berbagai macam keresahan. Timbul dengan alamiah dan spontanitas. Dalam hal ini dalam rangka menghancurkan suatu aristokrasi yang mempertahankan hak-haknya, sebagai contoh Revolusi Borjuasi yang tergulingnya Raja Prancis. Revolusi menciptakan kekuatan moral dan mengentaskan kelaliman untuk mencerdaskan pikiran serta mendirikan masyarakat baru.
            Indonesia memiliki riwayat yang abstrak. Sulit sekali menemukan sifat kebudayan bangsa Indonesia yang asli. Hindu, Buddha dan Islam adalah produk impor. Indonesia didesak oleh bangsa Tionghoa dan Hindu yang melarikan diri ke nusantara. Menggunakan vintas (perahu) untuk mengarungi pulau-pulau yang ada di Indonesia. Tetapi, hal tersebutlah yang menyebabkan bangsa Indonesia mengenal dunia luar dan mengalami keterbukaan.
            Empu Sedah, Tarunajaya dan Diponegoro ialah tokoh yang saat itu menentang pemerintahan Belanda. Empu Sedah dengan pesimistisnya meramalkan bahwa yang akan memimpin mereka ialah orang asing, dan itu pun terjadi (dipimpin oleh Mas Garendi yang berketurunan Tionghoa-Jawa). Masuknya paham Islamisme yang dibawa oleh Malik Ibrahim (1419). Tarunajaya berada dalam keadaan genting, ia berdiri diantara Raja, Belanda dan kawan lamanya. Sedangkan Diponegoro, melawan dengan cara jihad dibantu oleh Kyai Mojo -dengan perjuangan- kaum borjuasi Islam-Jawa yang menentang kapital Barat yang disokong oleh satu kerajaan yang hampir tenggelam (Mataram). Dengan ini riwayat Indonesia pun masih abstrak, tetapi memang harus lepas dari imperialisme.
            Lalu sebenarnya imperialisme apa yang menjajah Indonesia? Yakni imperialisme autokratis, yaitu yang dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia dengan menetapkan aturan-aturan atau semacam pasal. Indonesia kini dan nanti, merupakan kejadian yang semata-mata ialah perbuatan manusia Belanda. Tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia, waktu itu negeri mereka hanyalah negeri tani dan warung kopi kecil-kecil.
            Kapitalisme di Indonesia tergolong masih muda. Dalam hal industri, indsutri pertanian masih tetap terbatas di Jawa dan di beberapa tempat di Sumatera. Kapitalisme memisahkan antara desa dan kota. Di kota tempat memproduksi suatu barang, sedangkan di desa tempat sumber daya alam yang diangkut ke kota. Pada tahun 1790 di kota-kota berdiam 3,4% dan di desa-desa 96,6 % penduduk dari total seluruh penduduk, dan pada tahun 1920 menjadi 51% dan 49%, salah satu contoh (data) yang membuktikan secara nyata pada kita perihal kemajuan kota-kota Amerika, sebagai akibat kemajuan industrialisasi (The Relation Government to Industry, M.L Reg ua). Pun, kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara produksi bumiputra, melainkan dipergunakan untuk kepentingan asing.
            Aksi massa merupakan perwujudan atas merubah keadaan sosial rakyat Indonesia. Dimula dengan suatu kemelaratan dan kegelapan suatu masyarakat itu sendiri. Biasanya, untuk masyarakatnya sendiri terbebani dengan pajak dan yang menjadi buruh justru diupah dengan gaji yang minim. Sampai saat ini pun Indonesia masih belum mengenal hak atas kepemilikan yang kita (Indonesia) miliki. Kelaliman dan perbudakan sering terjadi, pun dengan aspirasi rakyatnya yang tidak didengar. Sangat terlihat ketimpangan  sosial di Indonesia, ketika dahulu keuntungan besar dari gula, minyak, karet, kopi, teh dan lain-lain mengalir ke Eropa (Belanda). Indonesia hanya dijadikan alat hisap untuk Belanda menanamkan kekayaan. Politik pun masih belum kepemilikan untuk masyarakat umum. Seyogyanya ketika dalam rapat mempunyai hak yang sama antara lelaki dan perempuan. Hanya undang-undanglah yang berkuasa. Dewan rakyat pun tidak dapat memiliki peran perwakilan untuk rakyat banyak.
            Dengan itu, maka akan terjadinya Revolusi. Namun, revolusi Indonesia berbeda dengan yang lain. Menentang feodalisme dan kelaliman jajah oleh bangsa Belanda yang menindas dan menghina mereka. Pada umumnya bangsa Indonesia tampak modern dengan kapitalismenya, namun kuno dengan secara pikirannya. Putch, suatu aksi gerombolan kecil dan tak berhubungan dengan rakyat. Aksi seperti ini tidak akan ada hasilnya. Dibutuhkan aksi massa yang terencana akan memperoleh kemenangan. Tidak mengenal fantasi kosong dan ini berasal dari orang banyak yang menyadari bahwa kemelaratan semakin besar dan siap mengalami (suatu) kekerasan. Dengan aksi ini perjuangan kita dapat dijaga, pemimpin boleh berjalan sekian  jauh menurut kepatutan yang perlu. Membutuhkan pemimpin yang revolusioner, cerdas, tangkas, sabar dan cepat. Pun menguasai mengenai wawasan sosial politik.
            Berdirinya BO, NIP dan SI merupakan upaya-upaya pra kemerdekaan. Kesatuan dalam aksi masih belum tercium aromanya dalam upaya memerdekakan Indonesia. Memiliki kepentingan masing-masing. Dalam aksi –massa yang konsisten atas- kita tidak dapat dibatasi seperti halnya memerdekakan Indonesia. Lebih dari hal itu, aksi massa dalam memiliki rasa tanggung jawab terhadap Indonesia pun penting. Ini merupakan lanjutan dari aksi massa bagaimana kita dapat (benar-benar merdeka) mensejahterakan masyarakat Indonesia tanpa ketergantungan (secara kolot) dengan  bangsa lain (Belanda khususnya). Tetapi, dalam hal menuntut ilmu di negeri Belanda (barat) tidak masalah. Memang harus diakui bahwa sistem pendidikan disana sangat baik.

            Teruntuk kaum revolusioner harus mempersiapkan barisan secepatnya, dalam menanggapi kasus-kasus yang terjadi. Tunjukkan bahwa merdeka ialah bukan hanya sekadar kata yang terucap dari mulut. Merdeka ialah ketika dapat menyampaikan materi dan ide, kebuktiannya dalam mencintai negaranya agar dapat merdeka secara hakiki. Bagaimana kalau kita yang merupakan angkatan revolusioner? Bersiap, kita tuntun massa yang rugi-dirugikan (karena ketidakadilan pemerintah) untuk merapat dalam panji revolusioner dan menghadang autokratis (dan sejenisnya). Karena aksi massa akan terjadi karena kepentingan bersama dan memiliki perasaan yang sama. Jaga tanah air ini, dengan segala yang kita miliki hingga jiwa taruhannya. Rapatkan barisan, karena dengan bersama akan menjadi kokoh dan massif dalam menuntut kemerdekaan yang hakiki.