Minggu, 07 Oktober 2018

Raja Tanpa Mahkota dan Sarekat Islam


Raja Tanpa Mahkota dan Sarekat Islam
Oleh : Fajar Subhi



            Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Ponorogo pada 16 Agustus 1882. Ayahnya, R. M. Tjokroamiseno adalah wedana di Kleco, Madiun dan kakeknya, R. M Tjokronegoro, pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo, salah seorang ulama paling berpengaruh di Jawa pada abad ke-19. Setelah lulus dari OSVIA (Opleiding School voor Indlandsche Ambtenaren) Magelang pada 1902, anak kedua dari dua belas bersaudara ini bekerja sebagai juru tulis di Kepatihan Ngawi hingga 1905. Pada masa ini ia juga menikahi Soeharsikin, yang dikaruniai lima orang anak. Anak pertama Netty Oetari yang pernah menikah dengan Bung Karno. Anak kedua bernama Oetaryo Anwar Tjokroaminoto, dengan aktifitas dan tugas sebagai wartawan, Penasehat Panglima Besar Sudirman, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Anggota Dewan Pertimbangan Agung. Anak ketiga Harsono Tjokroaminoto dengan julukan masa kecil “Mustafa Kamil”, beberapa kali sebagai menteri pada Pemerintahan Republik Indonesia di tahun 1940-1970-an, anak keempat bernama Islamiah, dan anak terakhir bernama Suyud Achmad juga seorang wartawan.

            Gang Peneleh, ialah lokasi Rumah Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto selama tinggal di Surabaya. Beliau sebagai ketua salah satu organisasi pergerakan terbesar di Hindia Belanda, Sarekat Islam. Selain dibuat usaha kos-kosan oleh istrinya, rumah itu sering dipakai oleh Tjokroaminoto untuk mengajar dan berdiskusi dengan para aktivis muda. Beberapa diantara mereka yang pernah tinggal dan menjadi murid Tjokroaminoto di rumah tersebut adalah Soekarno, Semaoen, Alimin, Musso dengan Partai Komunis Indonesia, sedangkan Kartosoewirjo dengan pemikiran Islam yang radikal. Dari rumah tersebutlah kemudian Tjokroaminoto dikenal sebagai guru para pendiri Bangsa Indonesia. “Raja Tanpa Mahkota”, begitulah dipanggil oleh orang Belanda. Beliau adalah BAANBREKER INDONESIA. Peretas jalan, peletak fondasi awal bangunan republik.


[Lahirnya Sarekat Dagang Islam]
              Di Surakarta, R.M. Tirtoadhisoerjo (yang selanjutnya akan menjadi pemimpin Redaktur Sarotomo) berhasil meyakinkan H. Samanhoedi, seorang pengusaha batik yang besar dari kampung Laweyan, perlunya mendirikan perkumpulan dagang seperti di Batavia dan Bogor itu. Pada akhir tahun 1911, H. Samanhoedi berhasil menghimpun pengusaha-pengusaha batik di Surakarta untuk mendirikan suatu perkumpulan dengan nama Sarekat Dagang Islam.
            Serikat ini seperti bentuk dari koperasi dagang pengusaha-pengusaha batik yang bertujuan merobohkan monopoli pedagang-pedagang Cina yang menyediakan bahan-bahan baku bagi perusahaan batik. Dalam waktu yang singkat, pergerakan Sarekat Dagang Islam Surakarta ini meluas dan berkembang. Anggota SDI tidak hanya terbatas pada pengusaha batik, tetapi juga pedagang Indonesia dan rakyat pada umumnya.
Kemudian serikat-serikat ini menyusul dan muncul di beberapa tempat di luar Surakarta, diantaranya di Surabaya yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Karena berkembangnya pergerakan Sarekat Dagang Islam, baik kuantitas dan kualitas dari para anggotanya, kata ‘dagang’ dihapus dan selanjutnya bernama Sarekat Islam (disahkan dengan akte notaris di Surakarta pada tanggal 10 September 1912).

Berdasarkan anggaran dasar SI, tidak terbatas pada perdagangan saja, tetapi juga mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, hingga agama Islam bangsa Indonesia. Seiring berkembangnya pergerakan SI, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi kalangan orang-orang Cina. Terjadi konflik di beberapa kota terutama yang ada cabang SI. Konflik tersebut menjadi bentrokan di Surakarta, Surabaya, Semarang dan Kudus.
Upaya pergerakan SI yang dimotori oleh HOS Tjokroaminoto dan H. Samanhoedi bukanlah suatu hal yang mudah. Tjokro ditangkap dan dipenjara atas tuduhan-tuduhan yang menimpanya. Terjadi pembekuan dan pelarangan oleh pemerintah Belanda, adapun sinyal disahkannya SI tetapi hanya bersifat lokal. Sarekat Islam mendulang banyak anggota dan Tjokro menarik massa secara besar-besaran yang tak lepas dari strategi yang dilakukannya. Beliau melakukan interaksi terhadap Indische Partij (Douwes Dekker, Soewardi, dan Tjipto Mangoenkoesoemo). Tjokro belajar tekni rally dalam ekspetasi massa dan tidak sekadar menulis di surat kabar dan vergadering, tetapi juga berunding dengan penguasa.
Pada tahun 1923, diadakan rapat terbuka di Batavia. Kemudian juga diselenggarakan kongres di Madiun pada tanggal 17-23 Februari 1923. Kepiawaian Tjokro dalam berpolitik ditunjukan, ia—beserta Agus Salim—mendekat ke PKI dengan tidak bermaksud mengikuti pahamnya. Tjokro kembali terpilih sebagai ketua CSI.
Beberapa bulan kemudian, PKI semakin kuat dan CSI kian lemah. Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan pada tahun 1924 dengan maksud menghimpun kaum perjuangan membela buruh dan rakyat jelata. Menurutnya, buruh dan rakyat jelata adalah korban dari sosok kapitalisme penjajahan Belanda. Sebelumnya, Indischee Sociaal-Democratische Veereninging (ISDV) didirikan oleh tokoh Belanda kiri, Sneevliet pada tahun 1914 dan menyebarkan pahamnya untuk melawan kolonialisme. Semaoen, salah satu murid Tjokro belajar dari Sneevliet yang bertemu di Surabaya pada 1915. Nama ISDV berubah menjadi Perserikatan Komunis Hindia yang kemudian diubah lagi menjadi PKI pada tahun 1924. Memperluas pemahaman ke pedesaan, baik di pulau Jawa maupun luar pulau Jawa, yang diharapkan menjadi persiapan untuk revolusi.
Pada bulan November 1924, Tjokroaminoto menulis Islam dan Sosialisme. Kemudian beliau bersama KHM Mansyur diutus mewakili Mu’tamar Al-Alamul Islami far’ul Hindish Sharkiyyah (MAIHS), kongres Islam Sedunia cabang Hindia Timur yang diprakarsai oleh Raja Abdul Aziz Ibnu Sa’ud di Mekah pada 1 Juni 1926. Sepulang dari Mekah, beliau dipanggil Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Pada 28 Oktober 1928, sumpah Pemuda dibacakan.
Tahun 1930, nama partai Sarekat Islam Hindia Timur berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan akhir tahun 1930 keluar dari PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia).
HOS Tjokroaminoto wafat pada 17 Desember 1934. Sepeninggal beliau PSII tetap hidup dan dilanjutkan oleh Agus Salim dan Kartosoewirjo. Inilah masa semua orang merasa kehilangan sosok guru, induk semang yang membuka pikiran rakyat pribumi untuk berani menegakkan kebenaran berlandaskan Agama Islam. Beliau mengembuskan napas terakhirnya pada 10 Ramadan 1353 pada usia 52 tahun. Almarhum dimakamkan di TPU Kampung Pakuneen, Wirubrajan, Yogyakarta. Dalam tulisan yang dimuat di Sendjata Pemoeda (surat kabar PSII) , Tjokro menegaskan : keutamaan, kebesaran, kemuliaan dan keberanian bisa tercapai lewat ilmu tauhid. Salah satu trilogi Tjokroaminoto yang termasyhur adalah setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. HOS Tjokroaminoto menjadi inspirasi besar hingga tumbuhlah sosok kaum perintis kemerdekaan.
#BelajarDariSejarah #Indonesia #HOSTjokroaminoto #Surabaya


Referensi Tulisan:       -     Rumah HOS Tjokroaminoto, Surabaya.
-          Shiraishi, T. (1997). Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. (H. Farid, Penerj.) Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
-          idsejarah.net
-          ANRI Serikat Islam Lokal




HOS Tjokroaminoto. Sumber : Dokumentasi Pribadi 2018





Rumah HOS Tjokroaminoto. Sumber : Dokumentasi Pribadi 2018






Andai Student Loan

Andai Student Loan
Oleh : Fajar Subhi

 Berakhirnya era penjajahan semenjak 72 tahun silam diharap dapat menimbulkan harapan kuat untuk majunya negara Indonesia. Kualifikasi pendidikan ialah suatu inkubator untuk mengolah mentalitas dan mengangkat status sosial masyarakat Indonesia. Pembebasan dari cengkraman kolonialisme kala itu memunculkan kesadaran politik dalam membangun pendidikan yang berkeindonesiaan. Pun, menjadi sebuah keharusan bagi negara dalam menyejahterakan rakyat melalui prosesi pendidikan yang terjamin hak-haknya. Sebagaimana termaktub pada Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. 
Berdalih untuk memajukan visi ‘kita’ ke depan yang sangat basic, yaitu dalam bidang pendidikan, Jokowi menantang bank konvensional dan meminta Otoritas Jasa Keuangan untuk menggarap pasar kredit pendidikan. Pada tanggal 15 Maret 2018 Jokowi menyampaikan bahwa jika Indonesia memiliki produk kredit pendidikan, maka akan dapat mendorong perilaku kredit konsumtif berpindah ke hal yang bersifat produktif dan memberi nilai tambah kepada intelektualitas, visi kita kedepan yang sangat basic, yaitu bidang pendidikan. 
"Saya ingin memberi PR (pekerjaan rumah) kepada Bapak Ibu sekalian, dengan yang namanya student loan atau kredit pendidikan," kata Jokowi saat pertemuan dengan pimpinan bank umum di Istana Negara, Jakarta, Kamis (15/3/2018)[1]. 
Apakah dengan diluncurkannya student loan yang dimaksudkan oleh Jokowi dapat berdampak baik? Tentu. Dengan hal tersebut, banyak pelajar yang akan mudah mendapatkan ‘pinjaman’ uang untuk berkuliah. Tetapi, hanya untuk sementara—disaat menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi. Mereka—yang mengambil kredit pendidikan—harus melunaskan dikala mereka lulus kuliah. 
Secara umum, tak dapat kita pungkiri bahwa kredit tersebut memiliki bunga—karena menggaet bank konvensional. Hal ini yang akan menambah beban bagi mereka yang mengambil kredit pendidikan. Di Amerika Serikat, penelitian dari NerdWallet memprediksi mahasiswa yang lulus kuliah di tahun 2015 harus menunda pensiunnya sampai usia 75 tahun.
Pun, sejumlah 60% peminjam kredit pendidikan di AS baru bisa melunasi utang di usia 40-an. Itu sekelas Amerika—yang mungkin dapat kita katakan terjamin lapangan pekerjaannya.
Bukankah negara hadir untuk rakyatnya? Mengorganisasikan pemerintahan untuk menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Bukan mahalnya biaya untuk dapat berkuliah, diutangi pula. Padahal, alokasi dana APBN untuk anggaran pendidikan ialah sekurangnya 20%, ini termaktub dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Sejumlah 38,73T atau 9,31% dari anggaran pendidikan, itu diperuntukan kebutuhan pendidikan tinggi[2]. 
Tampaknya, negara ini tidak lepas dari paradigma neoliberal. Pada awal tahun 1980an, paradigma kebijakan ekonomi neoliberal mulai digunakan oleh negara maju dan menyebar ke negara berkembang. Menurut Tilak, dampak dari kebijakan-kebijakan neoliberal ialah  menguatnya sistem pasar bebas dan membuat peran dari pendidikan tinggi harus diinterpretasi dan didefinisikan kembali.[3] 
Pendidikan dianggap sebagai suatu komoditas. Logika yang dipakai ialah logika jualbeli. Padahal, pendidikan tidak seperti itu. Pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat Indonesia. Proses pendidikan harus mampu menghubungkan kapasitas individual ke dalam kehidupan kolektif sebagai warga negara demi suatu harmonika di dunia. Ki Hajar Dewantara, menuangkan suatu semboyan, “mangaju-aji salira, mengaju-aju bangsa, mangaju-aju manungsa” (membahagiakan diri, membahagiakan bangsa, membahagiakan kemanusiaan). 
Jimmy—sebagai pemerhati pendidikan dari UNJ—mengatakan bahwa dalam UU Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, pemerintah pusat dan daerah beserta pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini diatur dalam Pasal 76 ayat (1).[4] Sudah seharusnya pemerintah untuk memenuhi hak mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Justru, pada ayat (2) pemenuhan tersebut dengan cara memberikan beasiswa dan membebaskan biaya pendidikan. Penulis khawatir, jikalau student loan fiks diterapkan dan dibuat kebijakan oleh pemerintah, redaksi diatas dapat berubah, bahwa mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi dipersilakan meminjam kredit pendidikan. Mereka diberi jalan untuk berkuliah dengan cara berutang.
Maka, menjadi sebuah peringatan besar jikalau pendidikan sudah menjadi cengkraman sistem pasar bebas. Tidak memiliki integritas dalam menentukan pendidikan yang berbasis kemudahan untuk masyarakat. Perlu dicamkan, bahwa pendidikan bukanlah barang dagang. 
“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan” Tan Malaka.  
  

Daftar Pustaka
Naufal Mamduh “Kredit Pendidikan ala Jokowi : Masalah atau Solusi?” diakses dari
Putra, Galih. 2016. Politik Pendidikan : Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia dan India. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sakina Rakhma “ Jokowi Minta Perbankan Sediakan ‘Student Loan’ ini komentar BI diakses dari https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/16/203800026/jokowi-minta-perbankan-sediakanstudent-loan-ini-komentar-bi. diakses pada tanggal 5 April 2018 pukul 01.30 WIB   
Staf Presiden RI. 2017. Kajian Anggaran Pendidikan diakses di anggaran.depkeu.go.id  
Tim PGRI. 2014. Pendidikan untuk Transformasi Bangsa : Arah Baru Pendidikan untuk Perubahan Mental Bangsa. Jakarta : Kompas.


[1] Sakina Rakhma “ Jokowi Minta Perbankan Sediakan ‘Student Loan’ ini komentar BI diakses dari https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/16/203800026/jokowi-minta-perbankan-sediakan-student-loanini-komentar-bi. diakses pada tanggal 5 April 2018 pukul 01.30 WIB   
[2] Departemen Keuangan, 2017 
[3] Putra, Galih. 2016. Politik Pendidikan : Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia dan India. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
[4] Naufal Mamduh “Kredit Pendidikan ala Jokowi : Masalah atau Solusi?” diakses dari https://tirto.id/kreditpendidikan-ala-jokowi-masalah-atau-solusi-cGoC pada tanggal 5 April 2018 pukul 06.42 WIB


Pemuda dan Kebangsaan


Pemuda dan Kebangsaan
Oleh : Fajar Subhi

Pemuda merupakan seonggok elemen yang ada di suatu bangsa. Ia memiliki andil yang besar dalam menggerakan lingkungan sosialnya—baik mikro hingga makro. Selain itu pun diharapkan oleh masyarakat dalam melakukan sebuah perubahan untuk menuju keadaan yang lebih baik. Tidak sedikit pemuda yang kala itu Indonesia masih dalam kerangkeng kolonialisme, berinisiasi untuk melakukan sebuah gerakan untuk mendobrak kerangkeng tersebut.
            Sebut saja Samanhoedi yang berinisiasi mendirikan Sarekat (Dagang) Islam. Kala itu di Surakarta (1912) ia mendirikan SI dalam rangka memperkuat solidaritas muslim dan ditetapkan sebagai perkumpulan kaum muslim demi kemajuan. Awalnya organisasi ini hanyalah sebuah organisasi ronda yang bernama Rekso Roemekso—yang dibungkus dalam bahasa modern. SI pernah memiliki rencana gerakan untuk mendirikan masjid, namun gagal. Tetapi, mereka berhasil membuat surat kabar Sarotomo dan Tirtoadhisoerjo sebagai redaktur utama.
            Berbagai macam dinamika dihadapi, pernah diperintahkan oleh Residen Surakarta untuk menghentikan kegiatan SI, namun SI berkembang dan meluas ke seluruh Jawa dan Madura. Kemudian meluaskan gerakan propaganda melalui surat kabar Sarotomo, Oetoesan Hindia, Sinar Djawa, Kaoum Moeda dan Pantjaran Warta. Nama Oemar Said Tjokroaminoto, Tjipto Mangoenkoesoemo pun muncul. Para pemimpin cabang SI adalah kaum muda.
Semaoen muncul sebagai pemuda bumiputra pertama yang menjadi propagandis serikat buruh. Pada awal 1915, bertemu dengan Sneevliet di Surabaya, yang bebas dari mentalitas kolonial. Semaoen adalah pemimpin pergerakan yang baru yang memulai kariernya sebagai propagandis serikat buruh yang belajar marxisme sekaligus cara mengorganisir serikat dan memimpin pemogokan dari pembimbingnya, Sneevliet.
Kala itu merupakan awal dari gerakan melawan kolonialisme yang sangat dinamis. Diantara mereka memiliki pendapat dan cara gerak yang berbeda namun tidak menjadi hal penghambat untuk mencapai tujuan bersama yakni melawan kolonialisme. Hingga bermunculan tokoh seperti Tan Malaka yang memunculkan konsep merdeka secara seratus persen. Juga sosok Soekarno yang menjadi proklamator bangsa Indonesia—terus bangkit melawan kolonialisme. Beliau menjadi sosok bagi rakyat dalam semangat melawan dan mendobrak kerangkeng kolonialisme. Hingga akhirnya terus terjadi dinamika dan gejolak di dalam bangsa Indonesia itu sendiri.
Pemuda—begitu pula mahasiswa—ialah merupakan elemen penting di dalam masyarakat itu sendiri. Berkaca pada seratus tahun lalu yang memiliki semangat melawan. Bagaimana dengan saat ini—yang katanya—sudah merdeka? Tiada lagi penjajahan secara fisik. Sudah merdeka 73 tahun silam. Namun bagaimana kondisi bangsa ini? Permasalahan sosial yang semakin kompleks dan rumit. Terkhusus masalah pendidikan di negeri ini.
Negeri yang besar ialah tumbuh dan maju karena memerhatikan pendidikannya. Indonesia yang kaya dengan sumber daya—alam maupun manusia—mesti lebih meningkatkan kualitas pendidikannya. Dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Masih banyak wilayah di Indonesia yang belum tersentuh pendidikan yang layak—baik dari segi substansi maupun aksesi pendidikan. Komitmen dalam SDGs (Sustainable Development Goals) bidang pendidikan tampaknya hanyalah bualan belaka, targetnya ialah tersedianya pendidikan dasar dan menengah secara universal yang inklusif, setara dan berkualitas. Hingga tahun 2016 pun survei dari BPS (Badan Pusat Statistik) sekitar 73% kasus putus sekolah terjadi akibat faktor ekonomi. 
Pendidikan sebagai hak asasi setiap individu anak bangsa seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun di lapangan berbeda realitanya. Perlu adanya pembenahan pendidikan—baik itu regulasi hingga pelaksanaan. Ketiadaan arah yang tidak jelas dalam pendidikan nasional menunjukkan hilangnya elan vital di dalam pendidikan nasional yang menggerakkan sistem pendidikan untuk mewujudkan cita-cita bersama Indonesia raya.
Permasalahan pendidikan tinggi pun semakin pelik. Diskriminasi terlihat jelas adanya. Seakan hanya orang kaya yang dapat mengenyam pendidikan tinggi. Adanya dalih sumbangan yang padahal itu sama saja dengan uang pangkal. SPU, SPI, SPMA atau apapun itu namanya perlu disikapi dengan kritis oleh mahasiswa. Hampir di seluruh PTN sudah menerapkan ini. Akankah masih ada batasan gerakan antar elemen mahasiswa? Masihkah diam menanggapi permasalahan pendidikan—khususnya?
Mari tengok kembali perjuangan pemuda kala itu yang melawan penjajah. Kali ini kita dijajah (baca: terbungkam dengan aturan) dengan regulasi oleh para birokrat—bahkan autokrat. Jangan diam. Ikhtiarlah untuk berjuang bersama. Semestinya ini sudah menjadi gerakan nasional. Bangsa ini perlu pemuda—mahasiswa—yang memiliki semangat perlawanan. Perlu untuk bersikap politis. Tetapi tidak perlu terlalu ikut terbuai dengan euforia semu elit. Masih banyak permasalahan akar rumput juga pendidikan yang perlu dibenahi oleh kita. Jadilah pemuda untuk bangsa.

Referensi
Bisri, I. (2004). Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Press
Tilaar H.A.R. (2006) Standar Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta
Malaka, Tan. (2016). Aksi Massa. Edited by Yogaswara. Jakarta: Narasi.
Shiraishi, T. (1997). Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. (H. Farid, Penerj.) Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

*diterbitkan di reportaserakyat.com

DPR Menganvaskan Rakyatnya



DPR Menganvaskan Rakyatnya[1]
Oleh : Fajar Subhi[2]

Pada umumnya, kita telah mengetahui apa itu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia –yang lebih familier dengan sebutan DPR--, yakni lembaga pemerintah tertinggi dan perwakilan rakyat yang berfokus pada bidang legislatif. Saat ini, DPR diketuai oleh Bambang Soesatyo yang merupakan fraksi dari Partai Golongan Karya. 
Mengapa tulisan ini berjudul “DPR Menganvaskan Rakyatnya?” Menurut KBBI, menganvaskan artinya ialah memukul roboh sampai tergeletak di kanvas. Artinya, penulis memiliki maksud, bahwa, DPR memukul roboh rakyat hingga tergeletak di kanvasnya. Kurang lebih seperti itu. Tentu, tengah terjadi pengesahan UU yang memiliki kontroversi (red: DPR berulah) yang patut kita diskusikan secara intelek.  
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 Februari 2018, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD –yang disingkat UU tentang MD3. Dalam UU MD3, ada tiga pasal yang mendapat penolakan dari publik karena dianggap memberi kekuasaan berlebih ke DPR. Yang pertama adalah Pasal 73, polisi diwajibkan membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR namun enggan datang. Lalu, Pasal 122 huruf k, MKD bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Ada juga Pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.
Tampaknya, kinerja DPR semakin mundur. Seyogianya, sebagai lembaga tertinggi legislasi di tatanan pemerintah, melibatkan pendapat rakyat untuk melakukan sebuah pengesahan terhadap UU ataupun menunjukkan jatidirinya sebagai representasi rakyat. Bukan untuk merobohkan rakyat dengan disahkan UU tersebut. Pengesahan tersebut hanya untuk menjadikannya sebagai lembaga yang superbody.

Terdapat ambiguitas dalam redaksi pasal 122 huruf K yang disahkan, yakni terletak pada kata ‘merendahkan’. Kata yang mengandung multitafsir ini rawan digunakan untuk kepentingan politik. Sederhananya, siapapun yang ‘merendahkan’ DPR dan anggota DPR dapat dipidana. Sudah menjadi konsekuensi secara logis bilamana suatu lembaga negara mendapat kritik dari rakyatnya –yang memandatkan negara agar diorganisasikan dengan baik.
Dalam konsepsi yang digagas oleh Jact Rothman mengenai model pembangunan yang relevan, yakni social activity model, DPR seyogianya melibatkan masyarakat dalam pembangunan. Jact Rothman menyatakan bahwa model ini memperlakukan masyarakat sebagai sesuatu yang inheren dalam kehidupan sosial yang diakui statusnya. Masyarakat melakukan tindakan yang konstruktif, terarah dan terencana untuk menyerap dan mengartikulasikan kepentingan rakyat. Maka, tidak semestinya suatu lembaga negara –yang menaungi rakyat—merobohkan kepentingan rakyat dengan disahkannya UU MD3.
Pemerintahan yang berdasar pada kepentingan rakyatnya, akan menjadi negara yang berasaskan kepada kebersamaan rasa. Maka akan terjadi kolaborasi yang indah antara rakyat dan negaranya –terkhusus Dewan Perwakilan Rakyat yang menjadi representasi rakyat dalam pengesahan UU. Indonesia ialah negara yang menjunjung nilai demokrasi. Berbentuk Republik –kembali kepada publik. Bilamana itu terjadi, maka Indonesia akan menjadi negara yang menanamkan nilai sosial. Lagi-lagi, DPR perlu disentil. Sekali lagi, DPR perlu disentil agar dapat melukiskan kepentingan secara bersama atas dasar kepentingan umum diatas kanvas. Bukan untuk menganvaskan –memukul roboh hingga tergeletak rakyatnya.

Referensi Bahan Tulisan :                                          
Bisri, Ilhami. 2014. Sistem Hukum Indonesia : Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Nasrulloh, Adon. 2014. Sosiologi Pembangunan. Bandung : Pustaka Setia.
Red Soldier. 2017. RED’S PROGRESS : Catatan Jalan Juang. Sukabumi : Jejak Publisher.
Dylan Aprialdo Rachman “DPR Sarankan Uji Materi ke MK” di dapat di : https://nasional.kompas.com/read/2018/03/13/12034911/daripada-keluarkan-perppu-uu-md3-ketua-dpr-sarankan-uji-materi-ke-mk. diakses pada tanggal 13 Maret 2018 pukul 13.30 WIB





[1] Tulisan ini guna untuk memantik pada diskusi yang diadakan Aliansi Sospol se-UNJ pada 13 Maret 2018
[2] Kepala Departemen Sospol BEMFIS UNJ 2018