Kamis, 31 Maret 2016

Sosiologi Tarbiyah

Sosiologi Tarbiyah
          Ada 4 faktor yang mempengaruhi seseorang dalam beraktivitas atau beragama.
1. Intelectual involvement ( keterikatan intelektual ). Rasa ingin tahu yang besar membuat orang tertarik untuk menghilangkan dahaga intelektual. Nabi Musa a.s mau mengikuti Nabi Khidir a.s dan bersedia melakukan kontrak belajar karena rasa ingin tahu yang besar. Untuk mensuplai ilmu dan wawasan. Tarbiyah tidak sekadar mengaji, tetapi ada aktivitas hati, rasa ingin berbagi dan memiliki empati. Hobi berdiskusi, pandai berbicara, sering mengikuti kajian, dan senang berargumentasi. Ilmu yang berlebihan terkadang membuat kita lupa diri dan sombong, seperti, Fir’aun, Haman dan Qorun. Harus dibangun dengan fahman syaamilan, pemahaman yang menyeluruh.
2. Spiritual involvement ( keterikatan spiritual ). Meningkatkan kualitas rohani pun terkadang membuat kita lupa. Meninggalkan keluarga, sahabat dan kegiatan belajar. Spiritual hanya lah bagian apabila tidak di-sinkron-kan dengan syariat Islam. Perlu disadari bahwa kebahagiaan justru ketika mampu mengajak manusia ke dalam hidayatullah. Keburukan dan kejahatan apabila ada orang-orang shalih tapi individualistis dan tak berdaya guna. Pada suatu ketika, ada kapal yang bocor lalu tenggelam ketika semua orang asik dengan diri sendiri dan tidak peduli. Semua tenggelam, bukan hanya yang membocorkan kapal, orang baik pun ikut tenggelam karena ketidakpeduliannya.
3. Emotional involvement ( keterikatan emosional ). Keuntungan emosional terkadang justru lebih kuat daripada keuntungan finansial. Tersentuh oleh ukhuwah, tergugah hati oleh empati, terkesan dengan kedatangan sahabat yang menjenguk kita saat sedang sakit atau tertimpa musibah, terhibur kala duka, dan menerima senyuman yang membuat kita semangat. Merasa lekat dan erat dengan simbol, figur, atau atribut keagamaannya. Merasa islami dengan baju koko, peci, sarung atau warna tertentu. Yang berbau Arab dianggap islami, apakah harus seperti itu? Dalam aktivitas tarbiyah, emosi dikelola agar mampu menggerakkan. Saling menasehati, mengingatkan dengan tidak membuat orang lain sakit hati. Dari sekadar wacana menuju amal nyata. Turun ke lapangan aksi dari meja diskusi. Memulai diri bukan menuntut sesuatu.
4. Organizational involvement ( keterikatan organisasi ). Mau ngaji karena terikat organisasi? Menghadiri kegiatan agama karena ikatan organisasi. Ini membuat identias organisasi lebih menonjol daripada identitas keagamaan. Misal, orang belum dianggap nahdliyin tulen apabila sholat subuhnya tanpa qunut, bismillahnya tidak dijaharkan, sholat tarawih tidak 23 rakaat. Pun, orang merasa muhammadiyyin bila subuh tidak pakai qunut, tarawih 11 rakaat, adzan Jum’at cuma sekali. Begitu juga dengan perbedaan organisasi HMI, PMII, KAMMI dll. Sebenarnya ini sebatas pemahaman fiqih atau madzhab rujukan. Namun seolah menjadi brand image atau trade mark  cara beragama. Akibatnya timbul ashobiyah atau fanatisme organisasi, bukan terikat pada Islamnya, karena menganggap organisasinya lebih atau paling islami dan paling mencontoh Nabi. “ Kita bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati dan toleran dalam perkara yang ada perbedaan didalamnya.” kaidah Syaikh Muhammad Rasyid Ridho. Disinilah yang terpenting dalam mengembalikan loyalitas pada Islam, bukan loyalitas pada organisasi atau kelompok, tetapi pada nilai. Mendahulukan Islam sebelum organisasinya. Dan tidak perlu menambahkan ‘embel-embel’ dibelakang nama Islam, membuat Islam seakan-akan ada yang kurang. Islam tetap Islam, Islam adalah Islam, tidak perlu menambahkan nama dibelakangnya.

Daftar Pustaka
Izzudin, S. A. (2009). New Quantum Tarbiyah. Yogyakarta: Pro-U Media.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar